Banyak orang mungkin beranggapan bahwa berderma tidak susah. Bukankah tinggal bagi duit atau bantu orang dengan tenaga? Dari pesan para leluhur, untuk berderma pun butuh kecerdasan. Mari kita simak yang berikut:
Jika kita menyimak pesan leluhur yang ada dalam buku Dvipantara Dharma Sastra yang dikompilasi dan transkreasi oleh Anand Krisna, www.booksindonesia.com, kita akan berpikir ulang.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
“Berderma di tempat yang tepat,; saat yang tepat; kepada orang yang tepat, layak untuk menerimanya; dalam jumlah atau pun bentuk yang tepat dan berguna; dan dengan niat, sikap mental yang tepat, baik, mulia – menambah nilai apa saja yang didermakan.”
Berderma dengan tepat berarti memberikan suatu barang sesuai dengan kebutuhan. Yang menerima pun juga harus tepat. Sering kita lihat di suatu panti jompo atau yatim piatu banyak barang dijual oleh pengurus yayasan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena banyak orang yang berderma tanpa dibarengi kecerdasan.
Kebanyakan dari kita merasa sudah berderma. Memang betul sudah berderma. Mereka datang ke panti dan berikan makanan atau pakaian. Pada hal sesungguhnya mereka sudah berkelimpahan. Berikan mereka yang dibutuhkan. Karena sudah cukup sandang dan pangan, mereka butuh derma yang lain, misalnya hiburan atau melayani/menemani mereka untuk hiburan, nyanyi misalnya. Ini yang lebih mereka butuhkan.
Misalnya kita melakukan kunjungan di penderita penyakit, janganlah membawa makanan yang justru menambah sakit mereka. Makanan yang diberikan harus dipilih secara tepat agar tidak mendorong peningkatan penyakit. Mental pun juga harus disiapkan. Jangan kita datang ke panti namun wajahnya seperti terong busuk. Kita tidak sadar bahwa seharusnya kita datang dengan energi yang lebih. Saat kita sedih, level energi kita di bawah. Sebaiknya tidak datang dalam kondisi seperti ini.
Perhatikan, begitu bijaknya para leluhur kita. Berderma pun tidak asal beri. Sebagai contoh, misal di daerah yang sudah berkelimpahan, kita tidak bisa menyumbang uang atau makanan. Dermakan atau sumbangkan yang mereka butuhkan. Bagi yang sudah berkecukupan pun harus diberikan derma. Mereka yang sudah berkecukupan dalam hal materi bukan berarti sudah bebas dari rasa takut. Sebaliknya, mereka akan berperilaku semakin pelit dan serakah. Mereka takut menderita. Akibatnya, semakin getol mereka menumpuk harta. Semakin berhitung untuk mengeluarkan hartanya. Inilah bentuk ketakutan bagi si kaya.
Di bawah ini, para leluhur nusantara yang bijak memberikan solusi bagi mereka yang belum bebas dari rasa takut:
Derma utama adalah Derma ” Abhaya ” – membuat sesama makhluk bebas dari rasa takut, dengan cara tidak menyakiti siapa pun. Seseorang yang berderma demikian, sudah pasti terbebaskan pula dari rasa takut dan dicintai oleh sesama makhluk.
makna kata ‘Abhaya.’ A berarti tidak, sedangkan ‘bhaya’ berarti rasa takut terhadap suatu bahaya. Takut yang muncul dari sesuatu yang dianggap bahya. Penderitaan adalah mara bahaya bagi orang yang sudah biasa nyaman dengan harta bendanya. Oleh sebab itu, membuat orang lain bebas dari rasa takut menjadikan Derma yang utama.
Satu hal yang harus diingat adalah bahwa sebelum kita berbagi sesuatu, kita harus mengalaminya terlebih dahulu sehingga yang kita bagikan berguna. Tanpa kita mengalaminya terlebih dahulu sama saja kita berbohong. Kita menasehati sesuatu yang kita belum meyakini bahwa yang kita bagikan benar-benar bermanfaat. Kita harus berbagi yang sudah kita miliki. Miliki rasa kebebasan dari rasa takut, baru kita berbagi.
Janganlah berbagi dari suatu pengetahuan yang diperoleh dari kitab atau kata orang. Seseorang yang sudah melakoni suatu pengetahuan disebut sebagai orang yang bijak. Dengan kata lain, orang tersebut sudah melakoni pengetahuan. Bukan sekedar teori kosong.
Pengetahuan yang kita miliki sekedar informasi. Pengetahuan yang sudah diterapkan berubah menjadi kebijaksanaan. Pengetahuan yang tidak dilakoni akan menjadi sampah. Bahkan bisa menjadikan arogansi terselubung. Kita bisa menjadi sombong.
So, kebijaksanaan adalah pengetahuan yang diterapkan. Apabila dikaitkan dengan Sloka yang dikutip dari buku Dvipantara Dharma Sastra, maka sebelum kita membebaskan seseorang dari rasa takut, kita harus terlebih dahulu bebas dari rasa takut itu sendiri. Para suci dan avatar betul-betul mengetahui bahwa permainan alam adalah ilusi dari Sang Maha Pencipta. Dengan berbekal kebijaksanaan ini, mereka mulai berbagi pengalaman.
Kita harus sadar terlebih dahulu bahwa yang ditakuti hanya bayang-bayang. Sebagaimana kita dalam kegelapan. Tali disangka ular. Seperti inilah ketidaktahuan.