Ungkapan”perawan tua” adalah ciptaan kaum lelaki. Terciptanya ungkapan itu karena “ego” lelaki, seolah seorang perawan tidak memiliki kehidupan. Seolah setiap anak perempuan yang lahir kawin, harus nikah.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Kaum perempuan tidak pernah menciptakan ungkapan seperti itu. Tidak ada ungkapan “perjaka tua” bagi pria. Tidak berarti para perjaka tidak pernah menua. Bahkan, proses menuanya lebih cepat.

Begitu pula dengan istilah menopause bagi perempuan yang sudah tidak mengalami “datangnya bulan”, haid. Istilah inipun ciptaan kaum lelaki. Tidak berarti pria tidak mengalami pause serupa. Ia pun mengalaminya-disebut endropause. Namun istilah ini tidak pernah menjadi populer.

Kaum perempuan tidak merasa perlu untuk mempopulerkannya. Ya, “tidak merasa perlu”, seperti yang dirasakan oleh kaum pria. Kaum pria “merasa perlu mempopulerkan” istilah menopuse” untuk membenarkan birahinya yang masih membara, “Habis bagaimana, mau tak mau harus mencari wanita lain karena isteri di rumah sudah menopuse”.

Oleh hiburan murahan kita dicekoki dengan gambaran bahwa seolah hubungan antara suami dan isteri berdiri di atas platform seks saja, sehingga bila keidupan seks terganggu, hubungan mereka pun terganggu.

Banyak Perawan Tua…..,” berarti banyak pria konyol yang beranggapan bahwa seseorang perempuan tidak memiliki kehidupan tanpa seorang pasangan. Berarti, makin banyak pria egois….dan dapat menghancurkan tatanan masyarakat. Apalagi, bila “ego” itu dianggap jati diri manusia. Kemudian, untuk melindungi egonya, seseorang dapat berbuat apa saja.

Seorang perempuan memiliki intuisi yang kuat sekali. Bila ia sadar, dan tidak terbawa oleh nafsunya, ia akan memilih untuk tidak kawin seumur hidup daripada mengawini pria-pria berkesadaran rendah. Banyaknya perawan tua hanya membuktikan kesadaran pria yang kian merosot.

Kutipan: JANGKA JAYABAYA by Anand Krishna,www.booksindonesia.com