Dulu saya menganggap manunggaling atau kawulo-gusti atau persatuan dan kesatuan antara tuan dan hamba merupakan hal yang mesti melakukan tapa yang begitu susahnya. Atau puasa mesti sekian hari dan sebagainya. Dengan pemahaman sekarang, baru saya menyadari bahwa manunggaling kawulo-gusti memang sudah terjadi. Yang diperlukan adalah kesadaran.
Untuk mudahnya saya hanya mengambil contoh dalam suatu rumah tangga dalam suatu rumah. Tuan dan hamba terpisahkan memang. Namun sesungguhnya ke duanya satu adanya jika memahami peran masing-masing. Dan peran ke duanya sama. Yang saya maksud sama begini. Sang tuan adalah pemilik semua benda yang ada di dalam rumah tersebut. Tentu bisa dimengerti bahwa sebagai pemilik mesti saja menyayangi dan melindungi semua property nya. Di lain pihak sang hamba. Jika ia menyadari bahwa seluruh kehidupannya tergantung dari belas kasih tuannya, dengan sendirinya ia menganggap bahwa semua property sang tuan adalah menjadi kewajiban baginya untuk memelihara dan melindungi dari kerusakan.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Dari gambaran hal tersebut di atas ternyata tugas ke duanya sama. Menjaga property yang ada di dalam rumah. Jadi visi dan misi ke duanya sama. Disinilah terjadi kesatuan dan persatuan dalam memelihara property yang ada. Bukankah semua barang yang ada di bumi ini milik Tuhan? Dan menjadi kewajiban manusia sebagai hamba untuk menjaga agar semua ciptaan terjaga dengan baik?
Dan lagi apakah mungkin manusia bisa hidup di luar Tuhan? Jadi penyatuan sudah terjadi dari dulu. Bagaikan ikan dalam air. Ikan tidak menyadri bahwa dirinya hidup dalam air. Begitu keluar dari air, ia mati. Air ada di dalam dan di luar dirinya.
Para suci juga sering menyatakan bahwa tubuh manusia adalah temple of God , kuil Tuhan. Badan adalah alat yang digunakan Tuhan untuk memelihara alam beserta isinya. Hanya karena manusia lupa akan jati dirinya, ia menjadi perampok istana sendiri.
Di bawah ini ilustrasi yang bisa mewakili.
Pada suatu ketika, segerombolan perampok merampok suatu istana. Pada peristiwa perampokan tersebut, si kepala rampok menculik putera mahkota. Sang putera mahkota hidup di sarang perampok dan hidup dididik sebagai perampok. Sampai suatu ketika, si kepala rampok meninggal. Dan sang putera mahkota menggantikan ayah angkatnya.
Sebagai pemimpin yang baru tentu ia punya kewajiban untuk melanjutkan profesi ayah angkatnya, merampok. Sampai suatu ketika si raja rampok muda datang dan merampok di negeri atau istana ayah kandungnya. Ia tidak sadar bahwa ia sedang melakukan pengrusakan di negeri miliknya sendiri. Ia merampok dan merusak negeri sendiri. Ia lupa sebagai putera mahkota.
Demikian pula kita yang tidak menyadari sebagi pewaris dunia milik orang tua/Tuhan. Kita sedang merusak dan merampok milik kita sendiri. Kita tidak sadar bahwa kita lah pemilik bumi ini.
So, manunggaling kawulo-gusti bukan berarti kita harus hebat sebagai Tuhan yang bisa ini dan itu. Memang kita pernah melihat Tuhan menciptakan ini dan itu? Pernah melihat Tuhan memiliki kekuatan yang dahsyat seperti apa, begitu? Kita terlalu jauh membayangkan bahwa ketika terjadi manunggaling kawulo dan gustinya, si kawulo bisa ini dan itu. Semua adalah bayangan semu yang kita ciptakan. Inilah hijab ciptaan kita sendiri. Justru saat sang hamba menyadari bahwa dirinya adalah tuan juga, ia semakin menyayangi dan melayani semua isi bumi. Ia manjadi sahabat semesta dan memelihara kelestarian lingkungan adalah tugasnya.
Kesadaran menjadi pelayan sesama. Mudah diucapka sulit dilakoni. Tetapi itulah manunggaling kawulo gusti. Selama ii kita merasa hidup terpisah sehingga belum bisa menganggap segala sesuatu di sekitar kita adalah milik kita juga.
Salam Semesta….
Bunda Ilahi berkahilah kami kesadaran untuk senantiasa mengingat ingatkan diri bahwa menjadi tugas kami untuk melayani sesama…