Di tepi sungai seorang anak menangis sedih. Saat itu lewatlah seorang darwis, ia bertanya: “Mengapa kamu menangis?” Si anak menjawab:”Ibuku menyuruh mengisi ember ini dengan seluruh air sungai” Suatu hal yang tidak mungkin, pikir sang darwis. “Bagaimana mungkin mengisi ember sekecil itu dengan air sungai yang jumlah airnya melebihi ember tersebut?”
Demikian juga kita sering berkeinginan mengisi kemampuan otak kita dengan pengetahuan ilahi yang jauh lebih besar dan lebih luas. Bukankah lebih baik diri kita yang melarut dengan air kehidupan? Dengan cara melarutkan diri dalam aliran sungai kehidupan kita mampu merasakan segarnya air kehidupan. Aliran sungai kehidupan tidak bisa kita kuasai tetapi kita bisa larut dalam kehidupan.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Keinginan kita yang serba terbatas sering membuat lupa diri akan keterbatasan kita. Nafsu yang lahir akan pemahaman jati diri yang keliru meningkatkan ego. Ego ini menjauhkan diri dari sang Sumber Agung. Bukankah sejati diri kita bagaikan air sungai yang terperangkap dalam botol?
Ketika badan ibarat botol. Suatu wadah yang memperangkap jiwa. Jiwa tanpa adanya peranglap bagaikan air sungai yang pada awalnya memiliki kebebasan. Jiwa adalah kehidupan semesta tanpa kehendak. Ia tidak kenal dualitas. Ia bagaikan energi listrik. Tidak bisa dilihat dan diraba, namun keberadaannya begitu nyata. Pikiran tanpa kehadiran jiwa bagaikan bohlam tanpa adanya aliran listrik. Mati.
Namun tanpa adanya pikiran, jiwa juga tidak dikenal. Tanpa adanya pikiran, jiwa juga tidak dikenal. Tanpa badan, pikiran tidak mengekspresikan diri. Mind, body and soul adalah satu kesatuan. Ke tiganya saling ketergantungan. Saling bersinergi. Pertanyaan berikutnya muncul. Apakah tujuan kelahiran?
Perjalanan itu sendiri tujuan kelahiran.
Sadari bahwa semuanya permainan.
Ego adalah bentuk jebakan bagi jiwa.
Siapa yang bermain???
Ya Tuhan juga. Dia yang menonton…
Dia juga yang bermain…
Inilah La ilah ila lah…….