Kebiasaan leluhur kita, bahkan sampai saat ini pun masih dilakukan, melakukan sesajen atau persembahan kepada alam. Mungkin banyak yang mengatakan hal ini perbuatan yang musyrik. Inilah kata atau sebutan yang sesungguhnya belum mengenal budaya pelestarian terhadap alam. Mereka yang mengatakan demikian belum menghargai proses.

Sadarkah kita, segala sesuatu yang terjadi di alam ini melalui suatu proses. Misalnya, masakan. Kita seringkali mengucapkan bahwa rasa suatu masakan enak, dan kemudian kita mengucapkan syukur kepada Tuhan bahwa dapat diberikan nikmat makanan yang enak. Tetapi, pernahkah kita mengucapkan terima kasih pada tanaman dan juga pada si juru masak yang telah mengolah suatu bahan mentah menjadi enak?

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Kita lupa memberikan suatu penghargaan atau apresiasi kepada tanaman. Leluhur kita menyadari bahwa tanpa ada makanan, manusia akan mati. Mereka memberikan suatu sesajen dalam bentuk apa pun sebagai ungkapan terima kasih. Misalnya, leluhur kita memberikan kembang atau sedikit makanan pada bibir sumur. Ini sebagai ungkapan rasa terima kasih pada air sumur. Inilah rasa terdalam dari ungkapan syukur. Leluhur kita senantiasa ingat bahwa tanpa air, kita akan mati. Hubungan timbal balik antara manusia dan alam.

Mengapa makanan?

Karena makanan bagi manusia adalah sesuatu yang dibutuhkan untuk hidup. Dan itu dianggap tertinggi atau paling dibutuhkan. So, yang dipersembahkan pada air juga yang paling dibutuhkan manusia untuk hidup. Tiada sesuatu di balik itu semua. Sesajen dipersembahkan sebagai upaya manusia untuk melestarikan alam.

Ungkapan lain adalah menjaga agar pepohonan di sekitar tempat tinggal tidak sembarangan di tebang. Dahulu kala, pohon-pohon besar diberikan sesajen. Ini juga sebagai ungkapan rasa terima kasih pada pepohonan. Inilah wujud dari apresiasi. Mungkin dikatakan bahwa leluhur kita animis. Apakah yang disebut sebagai animis. Animis berarti kehidupan. Dengan kata lain, leluhur kita menghargai kehidupan ini sebagai manifestasi Tuhan.

Kembali pada apresiasi terhadap masakan….

Pernahkah terpikir dalam diri kita memberikan apresiasi pada si juru masak? Sering kita melupakan bahwa bahan mentah diolah menjadi bahan matang yang siap dimakan diproses oleh seseorang juru masak. Seharusya kita memberikan apresiasi ucapan terima kasih pada si juru masak. Bukan kah sang juru masak juga perwujudan Allah? Tanpa ketrampilan dan cita rasa, sang juru masak tidak bisa menyajikan makanan yang lezat.

Sebelum makan, ucapkan terima kasih pada tumbuhan dan kemudian sang juru masak. Bukan kah semua dari Tuhan? Betul, tetapi Tuhan tidak butuh ucapan terima kasih.

Tanaman juga tidak butuh!!!!

Benarkah????

Tanaman memiliki rasa tuan dan puan. Banyak hasil penelitian membuktikan hal tersebut. Walaupun ‘tampaknya’ sekedar ucapan terima kasih, namun sesungguhnya getaran rasa ungkapan terima kasih dipastikan dirasakan oleh pohon. Selain itu, ungkapan rasa terima kasih atau syukur ini juga melembutkan jiwa kita sendiri.

Walaupun sang juru masak tidak tahu bahwa kita mengucapkan terima kasih secara fisik, tetapi udara merupakan media penghantar rasa. jangan ragu, ungkapan terima kasih pada sang juru masak pasti sampai.

Dengan semakin sering kita mengucapkan terima kasih sebelum makan, sesungguhnya yang akan mendapatkan manfaat yang utama adalah diri kita sendiri. Jiwa kita semakin melembut dan penuh kasih. Tanpa berasa, kita semakin inline dengan sifat alam, KASIH…..