Lauh Mahfuzh (Arab: لَوْحٍ مَحْفُوظٍ) adalah kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh skenario/ catatan kejadian di alam semesta. Lauh Mahfuzh disebut di dalam Al-Qur’an sebanyak 13 kali diantaranya adalah dalam surah Az-Zukhruf 43: 4, Qaf 50: 4, An-Naml 27: 75 dan lainnya.

Sebutan lain dari Lauh Mahfuzh

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Nama lain dari Lauh Mahfuzh berdasarkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Induk Kitab (أم الكتاب, Ummu al-Kitab),
Kitab yang Terpelihara (كِتَابٍ مَّكْنُونٍ , Kitabbim Maknuun).

..pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh),…(Al-Waaqi’ah, 56:78)
Kitab yang Nyata (كِتَابٍ مُّبِينٍ , Kitabbim Mubiin).

Tiada sesuatu pun yang ghaib di langit dan di bumi, melainkan (terdapat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (An Naml, 27:75)

Banyak orang yang bingung dengan kitab Lauh Mahfuzh. Padahal sangat jelas sekali dari tulisan di atas. Lauh Mahfuzh adalah kitab tempat Allah menuliskan segala atau seluruh skenario/catatan kejadian di alam semesta. Artinya bahwa sekitar kita inilah kitab yang dituliskan Allah. Bukankah dalam Alquran jelas sekali tertulis di ayat pertama: Iqraa… Bacalah ayat di sekeliling kita.

Pengetahuan dalam kitab Lauh Mahfuzh tidak akan dijumpai setelah kematian. Bukankah tiada seorang pun ingat peristiwa setelah kematian. Bahkan tiada seorangpun melaporkan pada orang yang hidup peristiwa yang dialami setelah kematian. Saat orang lahir kembali atau bangun dari kematian tubuh paling akhir sama sekali tida ingat kehidupan masa lalu.

Lantas untuk apa mendapatkan pengetahuan setelah mati?

Pengetahuan tentang kehidupan dibutuhkan oleh manusia untuk menempuh kehidupan dengan tepat sehingga dapat kembali menyatu dengan Dia. Oleh karenanya, kitab pengetahuan dari Lauh Mahfuzh sangat dibutuhkan sebagai kitab panduan kehidupan yang benar. Dan dalam An Naml, 27:75 jelas dituliskan tiada sesuatu yang ghaib di langit dan bumi, melainkan dalam kitab yang nyata. Apa kitab yang nyata? Ya, itulah kehidupan ini. Masalahnya adalah: Bisakah kita menerima bahwa Lauh Mahfuzh bukan barang ghaib?

Selama ini kita selalu membayangkan bahwa kitab yang disebut Lauh Mahfuzh menyimpan begitu banyak rahasia. Karena kita membayangkan bahwa rahasia ini untuk menjadi seseorang yang luar biasa, seorang yang sakti mandra guna. Kita lupa bahwa semakin saktinya seseorang justru semakin menjauhkan dirinya dari Tuhan. Kesaktian ataupun kedigdayaan berawal dari ego. Keinginan untuk menjadi luar biasa, keinginan untuk jadi hebat. Bukankah ini keinginan dari tubuh? Keinginan untuk diakui ‘ke-akuan-nya’?

Kemalasan kita yang membuat kita menjadi khufur atau tertutup akan pengetahuan yang ada di sekitar kita. Kita enggan membuka diri untuk membaca atau ‘Iqraa’ pada ayat atau tulisan di sekeliling kita. Bisa saja dari buku pengetahuan terbaca yang telah dituliskan oleh para avatar atau nabi yang bertebaran di muka bumi. Penutupan diri atau kekafiran diri terhadap pengetahuan di luar kitab yang menurut kita paling benar, telah menjadikan kita mati atau stagnant dari pengetahuan lain. Inilah proses kematian. Proses penjauhan diri dari keilahian diri.

Kitab yang hanya melarang lakukan ini, do this dan don’t do this, adalah kitab yang diperuntukkan bagi mereka yang baru belajar. Sedang kitab yang lain, yang lebih mengupas pengetahuan lebih dalam diperuntukkan bagi pelajar kelas lanjut. Hal ini tergantung dari kesadaran masyarakat tempat kitab tersebut diturunkan. Inilah sebabnya, sesungguhnya kitab hanya berlaku bagi masyarakat setempat.

Analogi yang sama adalah ketika kita memberikan pelajaran pada seseorang dalam bahasa atau pengetahuan tertentu. Tujuannya? Agar mudah dimengerti. Dan tentu saja contohnya disesuaikan dengan kebiasaan atau budaya orang tersebut. Di lain tempat yang memiliki budaya berbeda tentu harus diadaptasi sesuai dengan kemampuan penerimaan masyarakat setempat. Dimana bumi dipijak disitu langit di junjung. Pepatah ini tepat untuk keadaan tersebut.

Kembali ke kitab Lauh Mahfuzh…

Kitab ini adalah kitab hidup yang tertulis di sekitar kita. Yang dibutuhkan adalah ekspertsitas dalam hal pembacaan. Caranya???

Samakan frekuensi atau getaran pikiran kita dengan getaran alam. Saat ke dua frekuensi pada getaran yang sama, maka orang tersebut akan mampu melihat atau membacanya. Ungkapannya sederhana: ‘ Ahhh…. itu tho rupanya.’

Jadi sesungguhnya sudah ada dalam dirinya, satu yang dibutuhkan: ‘Menyadari bahwa Dia telah menuliskan semuanya di atas bumi.’ Karena isi kitab Lauh Mahfuzh dibutuhkan untuk menempuh perjalanan hidup. Untuk mengarungi samudra kehidupan agar tidak tersesat untuk kembali menyatu dengan Dia.

Ingatlah teman, tiada suatu yang ghaib. Semua sudah tertulis dengan nyata. Ubahlah  pikiran kita dari intelektual menjadi intelejensia. Dan gunakan intelejensia kita untuk membaca. Bukan intelektual. Intelektual digunakan untuk membaca bendawi atau materi. Intelejensia digunakan untuk membaca tulisan Ilahi….