Sebetulnya judul di atas diganti ‘Indonesia Gawat Darurat sakit mental…’ Bukan sakit jiwa. Jiwa tidak pernah sakit, yang sakit adalah pikiran atau mental. Jiwa tidak pernah sakit. Jiwa selalu eksis. Jiwa melampaui suka duka. Jiwa selalu ada, tidak pernah tidak ada. Pikiran serta perasaan yang kita sebut sebagai mind lah yang sering sakit. Sakit berarti terjadinya penyimpangan dari keselarasan sifat alam. Kasih…

Kasih bersifat melayani dan berbagi atau memberi. Itulah sifat alam. Angin, air, matahari, dan bumi senantiasa membagikan dirinya untuk menghidupi manusia. Alam tidak pernah mementingkan diri sendiri. Mereka yang selalu mementingkan golongan, kelompok, dan dirinya tidak selaras dengan alam. Mereka yang bisa melampaui kepentingan personal atau golongan, kelompok serta diri sendiri bisa dikatakan menjadi pribadi yang transpersonal.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Realitanya, di media sosial selalu saja berkembang ungkapan kebencian serta menebar fitnah mengajak untuk membenci kelompok yang tidak disukainya. Apakah penyebab semua itu bisa terjadi???

Ketidaktahuan atau ketidakpedulian akan jati dirinya. Mereka yang menebar kebencian merupakan ekspresi jiwa yang sakit. jiwa yang tidak selaras dengan sifat alam. Sebetulnya kata ‘jiwa’ disini kurang tepat. Yang tepat adalah pikiran. Karena pemahaman jiwa sesungguhnya berifat netral. Jiwa ibarat layar pada gedung bioskop. tanpa adanya jiwa semua pertunjukan di alam ini tdak bisa terjadi. Jiwa adalah basis pertunjukan di alam ini. Jiwa juga sebagai sumber kehidupan. Tanpa adanya jiwa tiada yang disebut kehidupan.

So, bukan sakit jiwa tetapi sakit mental. Ketidak fahaman kita telah menjadikan kita semakin menjauhi pada Sang Sumber Agung.

Ketika pihak berwenang mengeluarkan peraturan penjeratan hukum bagi penyebar kebencian, banyak dari kita protes. Bentuk protes ini dan itu sesungguhnya muncul dari mereka yang perilakunya menyimpang. Menyimpang dari perilaku atau sifat alam. Alaannya banyak. Ada yang mengatakan itu bentuk kritik. Namun sadarkah kita bahwa yang disebut kritik adalah jika mampu memberikan masukan juga. Ini yang disebut kritik membangun. Selama ini karena ketololan kita menyamaratakan kebencian atau ketidak sukaan sebagai kritik.

Kita anggap kita hebat bisa mengkritik. Kita tidak sadar bahwa itulah bentuk ketololan kita. Jika kita pintar tentu akan menyampaikan kritik yang bersifat membangun. Kita protes terhadap sesuatu kebijakan tetap kita mampu meberikan solusi untuk mengatasinya. Ini baru orang pintar. Jika hanya bisa mencela tetapi tidak bisa meberikan solusi lebih baik berarti kita mengungkapkan kebodohan tanpa sadar. Siapapun bisa mencari kesalahan orang. Yang sulit adalah mencari solusi. Apa tidak malu???

Jelas tidak…

Banyak orang yang sok pintar tetapi bukan pintar sungguhan. Hanya menganggap diri sok tahu. Akhirnya ia hanya meng-ekspresikan kebodohannnya tanpa sadar. Ia bangga mengungkapkan ketololannya.

Mengapa saya katakan demikian???

Saya ingat apa yang disampaikan oleh Rabiah Aldawiyah.

Seorang sahabat bertanya pada diri Rabiah: ‘Rabiah, mengapa kau tidak pernah mengatakan setan pada orang lain atau bahkan kau tidak bisa membenci setan?’

Rabiah pun menjawab: ‘Dalam hatiku tidak ada tempat bagi kalimat membenci setan. Bahkan kata setan pun tidak ada. Seluruh hatiku dipenuhi kasih pada Sang Kekasih.’

Demikian juga ketika Nabi Isa ditanya oleh salah satu muridnya: ‘Mengapa kau tidak bisa membalas kebencian orang tersebut Rabbi?’

Nabi Isa menjawab: ‘Aku tidak punya lagi mata uang sejenis untuk membeli.’

So, dari situ kita bisa menarik pelajaran bahwa apabila mengekspresikan kebencian berarti semua dalam diri kita berisi dengan kemarahan dan kebencian. Apakah ini selaras dengan ajaran para suci atau avatar?

Jadi jika sampai ada peraturan yang dikenakan oleh penebar kebencian dan amarah, kita harus mawas diri sendiri. Tidak usah mengeluarkan protes. Jika kita tidak melakukan hal tersebut, mengapa kita protes? Bukan kah bentuk protes ini membuktikan bahwa kita akan kena peraturan tersebut? Sehingga rasa ketakutan kita muncul.

Boleh saja berdalil, itu hanya menunjukkan bahwa pihak berkuasa berbuat sewenang-wenang. Benarkah demikian. Hanya kejujuran kita sendiri yang bisa menjawab.

Jika kita smart , kita tidak akan ketakutan. Karena pastinya kita tidak akan memberikan hujatan, kita menebarkan kedamaian. Karena itulah yang kita miliki……..