Banyak orang mengatakan judul tulisan di atas sebagai orang yang tidak punya rasa kemanusiaan si penulis. Boleh saja ungkapan itu diutarakan. Tidak salah. Hanya satu alasan mengapa saya menuliskan judul di atas; ‘Saya ingin mengingatkan diri sendiri bahwa saya pun akan mati suatu ketika. Dan itu pasti. Saya berharap mereka yang saya tinggalkan membaca tulisan ini dan tidak lagi sedih.’

Ini alasan mengapa saya angkat judul di atas:

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Kau bergelisah hati dan menangisi mereka yang tidak perlu ditangisi. Kata-katamu seolah penuh kebijaksanaan, padahal para bijak tidak pernah bersedih hati bagi mereka yang masih hidup, maupun yang sudah mati.”

(Bhagavad Gita by Anand Krishna, www.booksindonesia.com)

Saat itu Arjuna sedang dalam kebimbangan karena harus melawan para Kurawa yang berjumlah jauh lebih banyak dan para ksatriya sakti mandraguna seperti Bisma, Drona, dan Karna. Ia sangat gelisah dan sedih jika nanti lawan-lawannya mati. Bisma adalah kakeknya dan Drona adalah gurunya. Bagaimana mungkin ia melawan orang yang dikasihinya?

Sepertinya kata bijak, tetapi sesungguhnya ucapannya dilandasi rasa takut. Takut akan kekalahannya. Ia tahu bahwa ke duanya adalah orang yang selama ini tidak terkalahkan. Seakan ia sedih jika ada kematian karena perebutan tahta Hastina. Perhatikan kata tersebut di atas. ‘Padahal para bijak tidak pernah sedih hati bagi mereka yang hidup, maupun yang mati.’

Jadi jika kita sedih hati bagi yang hidup maupun yang mati, sesungguhnya kita bukan orang bijak. Aneh bukan???

Para bijak sangat sadar bahwa kelahiran dan kematian adalah proses alami yang harus dialami oleh setiap orang yang eksis di bumi ini. Semua makhluk hidup yang lahir pasti mati. Inilah proses alam yang tak terbantahkan. Mari kita renungkan:

Benarkah kita menangsi atau sedih pada orang yang sudah meninggal?

Saya kira tidak……….

Kita sedih karena kita kehilangan sesuatu. Bukan merasakan kesedihan pada yang mati. Ketika suatu ketika kita kehilangan barang yang kita sayangi, kemudian kita menangis, siapa yang kita tangisi? Kita sendiri bukan? Kita kehilangan barang yang kita sayangi, maka kita merasakan penderitaan. So, kita sedih dan menangisi penderitaan kita sendiri. Tidak, pasti beda. Saya sedih karena ia meninggal.

Benarkah???

Misalkan yang meninggal seorang suami, si istri sedih. Ia sedih karena ditinggal suami. Ia sedih karena bingung, siapa yang mencarikan nafkah. Ia sedih karena ia berpikir, siapa yang akan membawa mobilnya saat bepergian. Ia sedih karena tidak ada teman mengobrol. Si istri bukan menyedihkan yang meninggal, tetapi karena ia kehilangan teman yang selama ini membantunya. Ia sedih bagi dirinya yang kehilangan, bukan menangisi si orang meninggal. Inilah ketidak jujuran kita. Agar dipandang bahwa kita cinta pada si orang meninggal, kita sedih.

Demikian pula sebaliknya. Saat si istri meninggal, suami ‘tampaknya’ sedih. Padhal ia bingung karena tidak ada lagi yang mencuci dan menggosok bajunya. Ia tanpa sadar sedih karena kehilangan pembantu. jangan dibantah dulu, mari kita renungkan. Mengapa mesti direnungkan? Bukan kah Sloka dari Bhagavad Gita di atas jelas bahwa jika jadi seorang bijak harusnya tidak sedih bagi yang mati maupun yang hidup? Itu kan orang bijak, saya tidak….

Terus? Bukankah orang bijak tersebut yang menjadi panutan kita. Bukankah tujuan kita lahir di bumi agar kelak mati sebagai orang bijak?

Menjadi oang bijak berarti sadar bahwa setiap ada kelahiran pasti diakhiri oleh kematian. Jika marah dan sedih karena tidak mau terima konsep ini, masih kah kita bisa berkata bahwa kita yakin dan percaya pada Tuhan? Bukan kah hukum sebab akibat adalah hukum alam atau hukum Tuhan. Ada lahir ada mati. Inilah hukum sebab akibat….

Lantas bagaimana menyikapi kematian dari saudara atau suami/istri yang meninggal?

Kesedihan tidak akan selamanya. Semakin lama sedih tidak berarti kita bijak. Inilah sikap bodoh. Sedih sesaat kemudian kita harus bersikap positif. Sikap positif berarti menerima kematian sebagai proses kehidupan. Bangun dan bergegas untuk menghadapi kehidupan di masa akan datang. Berdoa bagi yang sudah tiada agar segera mencapai tujuannya.