Ya, itulah yang sering terjadi di sekitar kita. Setiap saat merupakan peluang emas. Namun seringkali kita melewatkan. Para suci dan para nabi seperti Jesus, Buddha Sidharta Gautama, Kabir, Mansyur Al Hallaj, dan lain – lain datang untuk mengingatkan manusia tentang tujuan keberadaan di dunia. Banyak sekali atau bahkan mayoritas setiap zaman selalu saja lupa tujuan keberadaan di dunia.
Kita seperti hewan jika tidak juga memahami tujuan keberadaan di bumi. Hewan makan, kita pun sama. Hewan tidur atau sekedar cari kenyamanan badan, kita pun sama. Hewan melakukan kegiatan seksual, kita pun tiada beda. Mungkin ada yang membantah, manusia kan membangun peradaban. Ini beda hewan dan manusia. Tetapi, perkenankan saya bertanya, bukankah semua berkaitan dengan kenyamanan badan?
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Jika jawabannya: ‘Iya’ berarti masih pada kesadaran lahir. Hewan pun demikian. Yang membedakan antara hewan dan manusia adalah yang disamapaikan para suci dan nabi. Jadilah makhluk transpersonal. Makhluk yang memikirakan kesejahteraan dunia. Lantas, apa keterkaitannya dengan tujuan kelahiran?
Memikirkan kesejahteraan umum berarti tidak lagi memikirkan diri sendiri bagaikan hewan. Lantas apa tujuannya. Tujuannya jelas, dengan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri berarti berupaya melepaskan keterikatan terhadap dunia. Saat pikiran tertumpu pada kepentingan umum, terutama yang terkait untuk membebaskan jiwa dari keterikatan dunia, saat itu ia juga sedang berupaya melatih melepaskan diri dari keterikatan dunia.
Selama ini jiwa terjebak dalam keterikatan dunia. Dengan selalu memikirkan kenyamanan badan, jiwa semakin tenggelam. Ia semakin menderita.
Banyak kitab suci meramalkan bahwa pembawa pesan ilahi akan turun setiap zaman. Kita saja yang tidak jeli. Mngapa, karena kita selalu berpikir zahiriah. Selalu melihat yang lahir. Kita seringkali memiliki pandangan: ‘Siapa yang berbicara’ bukan ‘Apa yang disampaikan’ Mengapa hal ini terjadi?’ Sangat sederhana jawabanny, kita masih berada pada kesadaran badaniah. Dengan kata lain, pola pikir kita masih berada di alam hewaniah.
Banyak sudah tanda – tanda yang mengingatkan bahwa kita semestinya meningkatkan diri dari kesdaran hewan ke tingkat lebih tinggi, Ilahiah. Banyak buku ada di sekitar kita yang mengngatkan akan hali ini. Banyak ucapan teman atau kerabat atau siapapun itu bahwa saatnya meningkatkan dari level intelektual menuju intelejensia.
Jika kita belajar dari sejarah, kebanyakan para suci dan nabi ditolak atau bahkan diremehkan di kampung halamannya. Banyak para suci dihargai dan dicintai bahkan diagungkan setelah meninggal. Buku an ditinggalkan baru dihargai setelah meninggal. Ini merupakan kerugian bagi kita. Kita tidak bisa bersentuhan langsung dengan seorang master atau avatar.
Kita tertipu oleh hipnosis massal. Kita selal saja beranggapan bahwa mayoritas pendapat adalah benar. Kita lupa bahwa para suci atau nabi selalu memiliki pendapat yang tidak sejalan dengan aliran atau suara mayoritas.
Perhatikan saja, segala berita yang disebarkan media, baik layar kaca maupun media massa kita anggap bemar. Ketika seorang Anand Krishna atau Antasari diberitakan miring oleh media massa, langsn kita amini. Kita anggap bahwa yang disampaikan oleh media benar. Kita lupa bahwa Hitler pernah berkata: ‘ Suatu kebohongan di ulang seratus kali, lama – lama kebohongan dianggap sesuatu yang benar. Inilah hipnosis massal.
Jika kita selalu saja mengikuti mayoritas, dapat dipastikan kita akan selalu membuang peluang emas. Peluang untuk membebaskan jiwa dari keterikatan dunia. Kita tetap saja tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Saat kita senang melihat berita yang sensasional di media televisi, sesungguhnya kita belum cerdas. Kita masih berada dalam tahap pikiran intelektual. Belum pola pikir ilahi, walaupun kita rajin pergi ke tempat ibadah dam melakukan ritual sembahyang. Ini yang disebut: manusia terjebak oleh pengaruh mayoritas. Kita masih dalam alam perbudakan massa.
Betapa meruginya manusia yang selalu saja berada dalam perbudakan massa. Masih memuja nafsu. Karena kita selalu melihat ke luar diri. Semakin sering kita melihat atau mengkuti mayoritas selama itu pula kita akan kehilangan peluang emas untuk mengubah dari kesadaran intelektual menuju inteljensia.
Kesempatan emas tidak datang dua kali sobat. Atau kita mesti menapak lagi pada kehidupan berikutnya. Sesungguhnyalah kehidupan tiada akan berakhir. Hento mati, kehidupan dunia tidak berhenti. Sesungguhnya kita sendiri yang selalu terjebak dalam hipnosisi massal. Kita juga yang bisa melepaskan dari belitan massal. Tidak seorangpun bisa membantu…..