‘Anda tidak bisa sekadar berpendapat tentang hidup atau tentang cara hidup yang Anda inginkan. Lepaskan segala opini, hanyalah setelah itu Anda bisa mulai hidup.’
(This is Truth That too is Truth by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Hidup adalah sekumpulan pengalaman. Pengalaman terjadi dari perbuatan-perbuatan. Ketika hanya berpendapat tanpa melakoni, ia belum hidup. Cara hidup begini dan begitu jika hanya diucapkan berarti ia belumlah hidup. Hidup baru berarti bila dilakoni atau dijalani. Bahkan banyak orang berteori tentang hidup namun ia tidak mampu melakoni teori yang selama ini diceramahkan.
Di layar kaca, banyak orang bisa berteori hidup seperti ini. Agama atau kepercayaan saya menganjurkan seperti ini, namun dalam praktek kehidupan ia melakukan segala sesuatu yang bertentangan. Katanya ia ber-agama ini dan itu. Ia ahli mengutip ayat ini dan itu, namun selama ia masih hidup di bawah kendali atau opini orang, ia tidak bakal bisa melakoni.
Pada umumnya orang hidup dikendalikan oleh opini orang lain. Mari kita lihat mereka yang menggunakan atribut tertentu sebagai ekspresi bahwa ia menganut kepercayaan tertentu. Jika direnungkan lebih dalam, sesungguhnya yang ia sembah adalah atribut tersebut. Ia bisa eksis karena adanya atribut yang melekat pada tubuhnya. Dengan kata lain, tanpa atribut yang melekat pada tubuhnya, ia tidak percaya pada diri.
Sama halnya dengan mereka yang sering mengutip ayat ataupun menggunakan ayat untuk menghakimi orang lain. Tanpa adanya ayat, ia tidak memiliki keyakinan. Ia tidak hidup atas landasan keyakinan terhadap diri, tetapi ia bisa eksis atau hidup bersandarkan pada sesuatu yang diyakininya benar. Ia melakukan tanpa dasar pengalaman, hanya sekedar kata si A atau B atau pun si C.
Tanpa melakoni terlebih dahulu ajaran yang diyakininya, ia seakan hidup atas opini atau pendapat orang lain. Selama hal tersebut terjadi, ia bagaikan robot. Ia hidup dikendalikan oleh pendapat orang. Inilah yang dimaksudkan hipnosis massal. Kita yang hidup dikendalikan oleh pendapat orang lain. Kita tidak bisa menikmati kehidupan. Kita menjadi obyek orang lain. Kita belum menjadi diri sendiri. Topeng untuk mengikuti pendapat orang lain.
Ya, kita hidup di balik topeng yang orang lain inginkan agar kita kenakan pada wajah kita. Dengan topeng-topeng tadi kita berkomunikasi. Kita hidup dalam kepalsuan agar diakui. Kita tidak berani melepaskan topeng yang orang lain inginkan. Betapa munafiknya kita.
Kita belum kenal diri sejati kita. Bahkan kadang kita marah terhadap diri sendiri saat sakit. Kita lupa bahwa kita sering mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat dari urat leher sendiri. Bagaimana mungkin bisa mencintai Tuhan jika terhadap diri sendiri saja tidak mengasihi?