‘Agama, keyakinan, dan sistem kepercayaan — sebagaimana ditampilkan oleh institusi-institusi terkait — bekerja pada prinsip penerimaan. Terimalah sebagaimana adanya. Sebaliknya, spiritualitas bekerja pada prinsip eksplorasi, pengujian, dan di atas segalanya, eksperimen.
(This is Truth That too is Truth by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Saya ingat pengalaman saya dahulu. satu pertanyaan yang membuat mereka marah dan berpikir yang tidak-tidak terhadap pertanyaan yang saya lontarkan. Pertanyaannya seperti ini: ‘Apakah jika buah kebenaran tidak dimakan oleh Adam atas bujukan Hawa, dunia bisa berkembang seperti sekarang? Bukankah mereka tidak akan berkembang biak sebagaimana jumalh manusia sekarang?’
Karena kebingungan dan selama ini memang ia hanya menerimanya tanpa ada keberanian untuk menggali, yang bisa dilontarkan adalah amarah. Sepertinya hal tersebut akan terjadi pada mereka yang menganut kepercayaan sejak kecil. Tidak ada sedikit pun keberanian untuk menggali lebih dalam. Inilah yang saya sebutkanbahwa agama atau pun kepercayaan tertentu bekerja atas prinsip penerimaan. Telan saja mentah-mentah. Kata pemuka agama atau kepercayaan seperti ini, ya dikuti. Jika tidak akan masuk neraka.
Dimana kesadaran bahwa diri ini memiliki kemampuan untuk menggali?
Mengapa hal ini dilakukan oleh para pemuka agama atau kepercayaan?
Jawabannya amat sangat mudah. Agar tidak ada yang berani melawan dan tunduk. Singkat kata, mereka mengajarkan ketakutan. Fear based , itulah prinsip utama. Seakan semuanya harus menggunakan perantara para pemuka agama atau kepercayaan untuk berhubungan dengan Tuhan. Namun di lain sisi, ada salah satu ajaran atau kepercayaan tertentu menyatakan bahwa Dia Yang Maha Kuasa di mana-mana. Dia Sang Maha Kuasa tidak terpisah dari kita manusia. Lebih dekat dari urat lehermu.
Betapa kontradiksi yang mereka sampaikan.
Semua pesan yang disampaikan oleh para suci dan avatar bertujuan untuk membangkitkan Diri Sejati yang sesungguhnya ada dalam setiap insan. Mereka mendorong agar setiap insan sadar bahwa antara diri dan Diri Sang Maha Agung tidak terpisahkan. Mereka berpesan bahwa keterpisahan adalah hanya sekedar ilusi.
Mengatakan bahwa diri berbeda dengan Diri Yang Agung adalah cara berpikir agar ada ketergantungan pada seseorang atau pemuka kepercayaan. Dengan adanya ketergantungan ini, mereka bisa menggunakan si pengikut tetap tunduk dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingangolongan serta kelompok. Jika ditelusuri lebih jauh, ujungnya juga kenikmatan serta kekuasaan dunia.
Sistem penyampaian dengan prinsip ‘Fear Based‘ tidak dikenal pada pejalan spiritualitas. Para Guru sejati senantiasa mengatakan bahwa mereka adalah teman seperjalanan. Temukan Guru Sejati yang ada dalam diri sendiri. Inilah anjuran mereka setiap saat. Mereka membuka diri untuk berdialog dua arah, two ways. Pola dialog ini yang tidak ditanamkan pada pemuka agama atau kepercayaan seperti pengalaman saya. Ini cara untuk tetap agar si pengikut tidak tahu.
Karena pemahaman yang tidak sesuai inilah, para pemuka agama atau kepercayaan melontarkan tuduhan bahwa para spiritualis adalah sesat. Bisa dimengerti. Jika saya berada di suatu tempat baru, saya akan menuduh mereka yang sudah tinggal di tempat tersebut orang sesat. Ata sebaliknya. Ketidak mau tahuan inilah yang disebut sebagai tindakan bodoh. tetapi kata bodoh juga tidak tepat. Karena mereka juga belum sampai di jalan yang seharusnya. Inilah takdir setiap insan yang lahir di bumi.
Bagaikan anak taman kanak-kanak. Karena mereka belum tahu, maka sesungguhnya mereka tidak lah bodoh. Yang dimaksudkan dengan ke-bodohan adalah bila tahu tetapi tidak mau tahu karena rasa takut yang muncul disebabkan hilangnya kenyamanan duniawi…..