Suatu hari si Gilo bertapa untuk mendapatkan pakaian (ageman, bahasa Jawa) yang sakti mandra guna. Bisa untuk menghasilkan uang dan mendapatkan kekuasaan. Oleh seorang dewa yang bernama Alamak, dikabulkan permohonannya. Sayaratnya cukup berat. bau Salti yang diberikan ukurannya pas. Tidak bisa diubah. Si pengguna harus menyesuaikan, walaupun harus menyakiti diri sendiri. Konon katanya, si Gilo setuju. Pokoknya yang penting dapat baju sakti untuk menggapai keinginannya.
Sang dewa Alamak berpesan agar ia tidak menjadi budak si baju sakti. Ada dua pilihan, jika ia bisa mengatur penggunaan baju sakti, ia akan mendapatkan kemuliaan ruh. Tetapi, bila ia mengikuti keinginan si baju, ia akan mendaptkan kemewahan duniawi, tetapi ruh nya akan menderita.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Sampai di rumah, ternyata ukuran baju tidak sesuai. Sebagai konsekuensinya, ia harus berpuasa menguruskan badan. Selain itu ada beberapa jenis ritual yang harus dilakukan agar si baju memberikan kasiatnya. Saat-saat tertentu ia harus melakukan ritual agar si baju mengeluarkan kesaktian. Pendek kata, banyak hal harus dilakukan agar baju (ageman) mengeluarkan kesaktiannya.
Karena memang keinginannya sangat besar, ia bersedia mengikuti apa yang disyaratkan. Suatu ketika, ia menggunakan baju untuk mendapatkan kekuasaan yang sedang diperebutkan di wilayahnya. Ia ingin menjadi kepala suku. Si baju memberikan isyarat bahwa untuk itu, ia harus mengorbankan seorang teman yang memiliki baju yang sejenis. Karena haus kekuasaan, ia melakukan ujaran fitnah agar si teman dibenci. Sialnya, si lawan atau saingannya encela ademan saktinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dengan segala dalih, ia menebarkan ujaran fitnah demi kekuasaan yang diinginkan.
Seperti itulah kelakuan si Gilo yang sudah terbutakan oleh kenyamanan duniawi. Ia rela mengorbankan siapa saja atas perintah si baju atau ageman. Si ageman atau baju ini sudah dibuat secara paket oleh golongan dewa Alamak.
Saat pertama, ketika di baju tidak cukup, maka si Gilo harus berpuasa sekian bulan atau minggu agar tubuhnya bisa pas dengan si baju. Ia rela melakukan ini dan itu agar bisa menggunkan si baju sakti. Ia memuja bagaikan seorang budak, begitu patuh tanpa melihat, apakah yang dilakukan menyakiti sesama atau tidak.
Bahkan suatu ketika, ada seseorang yang mencela baju saktinya, tanpa basa-basi. Tanpa meneliti lagi, ia langsung menghujat dan mengatakan bahwa ia menghinakan ageman saktinya. Singkat kata, ia menjadi budak ageman. Ia lupa bahwa sang dewa Alamak berpesan agar saat menggunakan baju atau ageman sakti, ia harus berjiwa welas asih. Tetapi karena ternyata setelah digunakan beberapa kali, baju saktinya manjur untuk menghasilkan kenyamanan indrawi, ia lupa bahwa yang harus diikuti adalah anjuran dari sang dewa, bukan yang dikatakan si baju.
Si Gilo lupa bahwa ia harus bisa mengatur baju agar membuat dirinya nyaman dan sifat penuh rasa welas asih sebagaimana sifat dewa Alamak yang penuh rasa asih. Ia begitu buta menggunakan si baju atau ageman sakti untuk memenuhi nafsu angkara murka.
Ia telah diatur baju. Bukan menjadi pengatur baju. Ia lupa bahwa si baju sakti diturunkan untuk memuliakan dirinya. Dengan baju sakti, si Gilo bisa menggapai kemuliaan ruhnya.