Pada dasarnya dunia memang tidak adil. Jadi, jika mencari keadilan, sudah pasti kecewa. Lebih baik kita sendiri menjadi adil.
Semua ketidakadilan disebabkan oleh persaingan yang betrayal dari ketidaktahuan kita akan sifat sejati kita — akan kesatuan kita.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
(This is Truth That too is Truth by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Keadilan amat sangat relatif ukurannya di dunia benda. Dasar pemikiran kita yang masih menggunakan limbik atau intelektual dapat dipastikan masih didasari atas kenyamanan tubuh fisik atau indrawi. Selama kita masih menggunakan tolak ukur yang tersebut, dapat dipastikan tidak akan merasakan kepuasan. dasar penggunaan pola pikir limbik atau hardware peninggalan hewan reptil amat sangat konvensional.
Saat hewan disayang dengan memeberikan kenyamanan tubuhnya, ia tidak menggigit. Demikian juga manusia yang bersandarkan pada kenyamanan tubuh fisik. Karena ke duanya bersandarkan pada tolas unir yang sama, kenyamanan tubuh/indrawi. Sehingga tolak ukur keadilan juga berlandaskan kepentingan golongan, kelompok, dan diri sendiri. Selama menguntungkan kelompok atau golongannnya, maka dianggap adil.
Ubahlah pola pikir kita dalam memandang keadilan. dengan menyadari sifat sejati kita, kita akan menjadi adil. tanamkan dalam diri kita bahwa yang disebut sebagai keadilan adalah hukum dasar alam semesta ini, sebab-akibat. Inilah hukum alam yang sejati. Siapa menanam, maka ia menuai hasil.
Ini juga sifat sejati kita. Dengan mengubah pola pandang kita tentang menjadikan diri sendiri adil berarti kita harus sadar akan akibat setiap perbuatan kita. Saat kita mengalami sesuatu yang mengecewakan, kita harus interospeksi diri. Jika kita sadar bahwa semua penderitaan disebabkan oleh ulah atau perbuatan kita, maka kita harus bisa menerima dengan hati terbuka. Kita tidak menggunakan mantra ‘Aduh-aduh’ Namun kita menggunakan mantra: ‘Ini pun segera berlalu.’ Baca secara lengkap disini.
Sangat mungkin ada yang berkata, ‘Saya sudah berbuat baik, tetapi tetap saja mengalami penderitaan. Bagaimana?’
Saya pernah mengalami hal yang sama. Tampaknya, saya sudah berbuat baik terhadap seseorang, tetapi saya juga diperlakukan dengan tidak baik. Namun ketika saya tidak menanggapinya, saya merasakan lebih ringan. Saya ingat kata Master saya: ‘Saat seseorang menyediakan diri untuk dilukai, ia akan merasakan luka tersebut. Tetapi jika ia menolak untuk dilukai, ia terbebaskan dari penderitaan’. Jadi singkat kata penderitaan terjadi ketika kita membuka diri untuk dilukai.
Kita harus kembali ingat bahwa para utusan, avatar, para suci, dan nabi juga mengalami penderitaan. Mereka kurang baik dan menyayangi semuanya, namun banyak dari mereka mengalami penderitaan. Walaupun demikian, mereka senantiasa memaafkan. Bagi mereka, yang melakukan perbuatan buruk dianggap sebagai orang yang tidak sadar akan apa yang telah dilakukan. Mereka telah menemukan keadilan dalam diri mereka sendiri. Janganlah berkata bahwa karena mereka para suci atau utusan alam semesta. Mereka memberikan contoh nyata bahwa dunia memang tidak adil adanya. Yang utama adalah bahwa mereka berbagi berkah….. Jiwa mereka selalu dalam keadaan seimbang. Penderitaan fisik tidak. Itulah sifat sejati yang telah mereka sadari. ya, yang dibutuhkan hanya MENYADARI akan adanya sifat sejati dalam diri. Semua dari kita telah memiliki. Bukan monopoli ada dalam diri para suci saja…
Inilah hasil pengembangan bagian otak manusia yang disebut Neo Cortex. Bagian hardware pengubah intelektual menjadi intelejensia…..