Persembahan atau yajna, berderma, maupun tapa-brata lainnya tidaklah bisa menyelamatkan, dalam pengertian tidaklah membebaskan manusia dari kelahiran dan kematian yang berulang-ulang, sebagaimana laku Kebenaran dalam segala hal — dalam hal berpikir, berucap, dan bertindak.
(Dvipantara Dharma Sastra by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Segala ritual, tapa-brata, berderma serta persembahan seharusnya membuat kita berpikir, berucap serta berbuat baik. Namun realitanya, semua menjadi sesuatu kedok atas kemunafikan kita. Banyak orang melakukan perbuatan yang pada akhirnya untuk memuja kenyamanan indrawi. Kenyamanan tubuh, untuk pertunjukan bahwa kita sudah melakukan perintah atau aturan dari keyakinan atau kepercayaan yang kita anut.
Mengapa semua hal tersebut di atas bisa terjadi?
Karena aturan yang diterapkan atau diberlakukan oleh keyakinan tertentu berlandaskan rasa takut atau ‘fear based’ Banyak penganut keyakinan atau kepercayaan hanya melakukan ritual sebagai pemenuhan kewajiban tanpa memahami tujuan akhirnya. Kita diberikan aturan larangan ini dan itu. Jika kamu melakukan ini diangap benar. Jika melakukan tindaka yang itu tidak benar. Doe’s and Don’ts.
Biasanya pemahaman seperti ini mengutamakan moral. Mengutamakan kesepakatan orang banyak. Walaupun tindakannya tidak tepat, tetapi karena disetujui oleh orang banyak yang memiliki kesamaan keyakinan, maka dianggap benar menurut aturan umum bagi golonfan tersebut. Ini bukan Dharma, tindakan yang baik bagi sesama makhluk. Kutipan di bawah ini bsa membantu:
‘ Sesungguhnya, menuturkan fakta saja bukanlah Kebenaran. Dan Penuturan non-fakta saja bukanlah kebohongan atau dusta. Segala sesuatu yang baik bagi sesama makhluk adalah Kebenaran, sisanya adalah kepalsuan.’
(Dvipantara Dharma Sastra by Svami Anand Krishna, www.booksindonesia.com)
Di sinilah letak perbedaan ajaran luhur yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Peninggalan leluhur kita mengutamakan ujaran kebaikan terhadap sesama makhluk hidup. Yang diujarkan atau diajarkan terutama bagaimana hubungan sesama makhluk hidup. Bukan didasarkan pada larangan.
Sehingga jelas perbedaannya. Ketika yang diujarkan pada anak adalah hal-hal yang baik, maka ujaran itu yang tertanam dalam otak kita. Otak kita tidak mengenal kata ‘jangan’ atau tidak’. Misalkan: ‘Polan, kamu JANGAN lakukan ini, nanti dosa.’ Yang direkam oleh otak si Polan adalah ‘Lakukan ini….’ Olehe karenanya, yang ada dalam pkiran atau memori si Polan dalah hal-hal yang bersifat negatif.
Sebaliknya, jika diujarkan bahwa kebaikan itu seperti ini dan itu. Bersikap baiklah pada sesama karena mereka juga memiliki hak untuk hidup. Tanpa ada kata ‘JANGAN dan TIDAK’ Maka yang direkam dan kemudian tersimpan dalam memori juga kata posotip atau bajik. Bajk bermakna untuk kebaikan sesama makhluk hidup.
So, tidak mengherankan bahwa suatu keyakinan yang banyak dianut oleh masyarakan luas seringkali menjadi pembuat masalah karena sejatinya yang tertanam adalah ujaran negatif dalam memorinya. Tanpa disadari, kecendrungan tindakan yang negatif dengan mudah terpicu.