Inilah femomena yang terjadi saat ini. Banyak kita melihat perubahan terjadi di suatu keadaan karena pimpinan yang baik dan tegas, walaupun tampaknya kasar. Namun sayangnya, hanya karena emosi sentimen karena beda kepercayaan, maka hal yang baik sebagaimana tuntunan nurani dimatikan.
Kita bersama sering melihat kejadian seperti ini di sekeliling kita. Misalnya, di perumahan kita. Seorang warga diangkat sebagai RT/RW. Ia beda keyakinan, namun ketika dipilih oleh warga banyak, ia menjadi pemimpin lingkungan. Selama ia bekerja, ia menunjukkan kinerja yang baik, dan terjadi perubahan yang signifikan. Karena suatu masalah berkaitan dengan keyakinan mayoritas, ia tidak disukai. Iseng-iseng ada seseorang yang melakukan survei kecil-kecilan. Ia bertanya, ‘Bagaimana dengan kinerja pak A?’ Banyak warga menyatakan sangat baik. Namun apa yang terjadi ketika pemilihan ketua RW? Si bapak A tidak lagi terpilih. Masalahnya karena emosi tidak suka karena bersinggungan dengan keyakinan yang dihembuskan oleh sekelompok orang yang tidak suka atas terpilihnya si bapak A.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Nurani berasal dari kata hati terdalam. Ia menyuarakan kebenaran sejati. Kita tidak bisa membohongi nurani kita. Nurani berarti kebenaran yang nyata. Ketika ditanyakan masalah masalah kinerja, secara spontan kita mengatakan puas. Analogi yang sama; Bila suatu ketika kita melihat seorang wanita/pria, kemudian secara spontan kita mengatakan suka. Namun ketika kita mulai menggunakan pikiran, emosi turut campur. Pikiran kemudian mengolah bahwa si wanita/pria begini dan begitu. Ini juga karena kata beberapa orang. Secara nyata ia melihat bahwa si wanita/pria baik. Namun karena pikiran kita terpengaruh oleh perkataan tidak benar, maka pandangan kita terhadap si wanita/pria berubah. Inilah pengingkaran terhadap nurani karena emosional.
Celakanya, semakin banyak informasi kita dapatkan, nurani kita semakin lemah. Ini menunjukkan bahwa informasi merupakan umpan atau makanan bagi intelektual. Semakin banyak pengetahuan kita, semakin gemuk intelektual aau mind kita. Celakanya, segala sesuatu semakin bengkak atau gemuk, semakin rentan terhadap penyakit. Sebagai contoh. Bukan rahasia lagi bahwa semakin besar perut seseorang berarti semakin banyak timbunan lemak. Semakin rentan pula terhadap penyakit. Air sehat bila diminum secukupnya. Namun, bila terlalu banyak juga bisa menjadi racun bagi tubuh kita.
Mind atau gugusan pikiran yang terlalu gemuk atau banyak informasi, semakin rentan terhadap pengaruh orang. Pikiran kita semakin tidak jernih. Banyak pertimbangan yang dipengaruhi oleh rasa takut. Intelejensia yang memiliki fakultas untuk memilih dan memilah tindakan yang tepat semakin melemah. Ditambah lagi bila kita begitu meyakini suatu kepercayaan, buka bersandarkan pada pengetahuan sejati.
Pengetahuan sejati berlandaskan kepentingan umum. Pengetahuan sejati akan berkiblat pada kepentingan orang banyak. Dalam arti bahwa kepentingan bersama lebih utama daripada kepentingan golongan atau kelompok.
Pengetahuan sejati membawa kita pada energi yang tidak pernah berubah. Segala sesuatu yang bersifat kebendaan selalu berubah. Namun ada suatu yang tidak berubah dan selalu ada. Kita semua, tidak terkecuali, tidak bisa hidup di luar Yang Maha Satu adanya. Dia yang tidak pernah berubah. Dia yang mengadakan semuanya. Kita hidup di dalam Nya. Dia ada di dalam dan di luar kita. Pengetahuan ini menuntun kita bahwa kepentingan kita satu dan sama: Berjalan menuju ke pada Nya. Karena kita berasal dari Dia dan mau tidak mau suka tidak suka mesti kembali kepada Nya.
Kenapa kita mesti mengingkari nurani kita hanya karena terpengaruh oleh pendapat orang lain? Bukannyak ini kerugian yang amat besar? Kita bersandarkan pengetahuan orang lain untuk menilai orang lain. Kita belum memiliki kekuatan untuk menilai secara utuh. Kita masih menjadi budak lingkungan kita saat kita bergantung pada pendapat orang lain. Kita belum bisa berkembang selaras dengan suara alam. Suara alam adalah suara nurani kita.