Pola Pikir

Sejatinya pola pikir yang dimiliki oleh mayoritas masyarakat tidak ada yang murni. Semua hanyalah copy paste dari orang tua serta masyarakat atau anggota keluarga lainnya. Dan, ditambah pikiran dari rekaman masa kehidupan sebelumnya. Pola pikir seperti ini telah menjadi landasan dalam kehidupan sekarang.

Tanpa sadar sesungguhnya kita hidup di dunia maya atau ilusi. Bagaikan hidup dalam dunia mimpi. Sejak kecil tanpa sadar pola pikir orang tua ditanamkan dalam pembentukan cara pikir kita. Semuanya terjadi karena hubungan dengan orangtua. Bahkan dalam menentukan kepercayaan atau keyakinanpun, orangtua kita telah memilihkan. Hampir pola pikir tentang keyakinan ditentukan oleh orangtua.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Tersandera

Conditioning seperti ini telah mengakar dan membentuk perilaku kita. Kita tersandera oleh pikiran yang disepakati oleh kebanyakan masyarakat. Kita tidak lagi memiliki cara berpikir yang murni. Dengan kata lain, sistem berpikir kita telah tersandera sebagaimana yang dimiliki oleh masyarakat umum.

Kita harus lepas dari cara pikir palsu yang telah ditanamkan oleh masyarakat serta orangtua kita. Inilah perlunya meditasi. Kita harus terus berupaya ‘membongkar’ cara pikir bentukan lingkungan kita. Kita harus ‘unconditiong’ cara pikir kita. Inilah tujuan utama meditasi.

Yang tidak kita sadari juga adalah bahwa kita belum bebas dari ‘ke-bayi-an’ kita. Dalam video di atas disampaikan bahwa bila tubuh kita menjadi besar; katanya dewasa, namun bila Masih mengejar atau berburu kuliner, sesungguhnya kita masih bayi. Coba kita perhatikan; ketika bayi diberikan mainan, yang dilakukan pertama sekali adalah menjilati atau bahkan menggigitnya.

Tuhan: Makanan

Ya, kesadaran manusia yang pertama sekali adalah makanan. Begitu kita lahir, maka yang dicari pertama seksli adalah makanan. Dan, walau kita telah berumur, namun yang dicari hanya makanan dan makanan, maka tidak beda bahwa sesungguhnya kita masihlah bayi.

Kita bisa rela mengantri ber jam-jam hanya untuk bisa mendapatkan makanan yang kata orang enak. Kita rela bepergian jauh semata untuk merasakan atau mencicipi makanan. Tanpa sadar, kita telah menjadi budak makanan. S0, tidaklah salah bila kita menjadikan makanan sebagai Tuhan. Tidak salah juga….

Karena ini juga pilihan kita………

Pertanyaannya: ‘Apakah ini yang menjadi Tujuan Utama Kelahiran?’