Inilah yang dinamakan penyakit manusia. ‘Merasa’ memiliki Tuhan. Yang tepat kita yang dimiliki Tuhan. Saat mengatakan memiliki sesuatu, kita bisa melakukan segala sesuatu terhadap benda tersebut. Kita bisa menjual, kita bisa mengubah bentuk benda tersebut. Kita memiliki kekuasaan untuk berbuat apapun mengenai benda tersebut. Lha, Tuhan? Mungkinkah kita bisa menguasainya? Kita dalam kuasa Nya, itulah yang betul.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Kita tidak bisa bertuhan, jika yang dimaksudkan memiliki. Jika kita merasa memiliki Tuhan, kita memiliki sifat ketuhanan dalam diri. Jika yang dimaksudkan demikian, kita tidak bisa menggunakan nama Tuhan untuk menganiaya orang lain. Kita tidak mungkin menuduh orang lain tidak bertuhan atau ateist. Kita sama sekali belum bertuhan jika bisa menuduh orang ini dan itu. Saat kita menuduh orang lain ateis, sesungguhnya kita yang ateis. Tiada hak pada diri kita menuduh orang lain ateis.
Ketika kita mengagumi keindahan bunga, sang bunga tidak perlu berupaya pamer kecantikannya. Ia tumbuh dengan bebas tanpa berupaya pamer akan kecantikannya, ia menghias dirinya dengan baik. Seorang yang baik, tidak perlu berbuat sesuatu kebaikan agar dipuji. Ia berbuat baik karena ia baik. Kebaikan adalah sifatnya. Lakukan kebaikan karena anda menikmatinya. Anda merasa bahagia ketika berbuat baik.
Demikian pula saat kita melakukan ritual sembahyang. Kita merasakan kenikmatan saat berdoa. Bersembahyanglah karena anda menikmatinya. Bukan untuk dipamerkan. Bukan berdoa agar dapat menabung pahala untuk memiliki surga. Dimana kenikmatan atau kebahagiaannya bila berdoa masih dikaitkan dengan pahala. Saat kita mengkaitkan ibadah kita dengan pahala, sedikitpun jua, saat itu kita memiliki ego. Saat itu kita ingin pamer. Inilah penyakit kita. Kita masih berhamba pada ego. Kita merasa memiliki Tuhan. Jika perasaan ini ada, ujungnya kita menuduh orang lain tidak bertuhan.
Merasa beragama juga menjadikan diri manusia sakit. Agama bukan untuk dimiliki dan dipamerkan. Apalagi digunakan sebagai alat untuk memuaskan syahwat nafsu hewaniah untuk menguasai dan berbuat kekerasan terhadap orang lain. Jika menggunakan dasar agama melakukan perusakan terhadap rumah ibadah dan menganiaya orang lain, terbukti sudah bahwa ia dalam keadaan sakit.
Seringkali kita tidak sadar terjadi tindak kekerasan dalam hati kita. Kita anggap si Fulan korupsi atai Hitler berbuat kejahatan, kemudian kita membenci si Fulan atau Hitler jaha, mereka pantas dihukum di neraka. Memang siapa diri kita?
Kebencian kita menjadi racun yang justru merusak diri sendiri. Kita merasa senang bahwa akan datang seseorang yang disebut Imam Mahdi menghukum mereka. Lha, jika mesti menunggu Imam Mahdi datang menghukum mereka berarti para nabi dan rasul sudah gagal? Memang tiada satupun yang berhasil mencapai misinya. Terbukti sampai saat ini masih banyak kejahatan. Tetapi, benarkah Tuhan tidak berkenan ada kejahatan?
Apakah yang dimaksudkan dengan kejahatan? Kejahatan adalah definisi kita. Saat kita merasa dirugikan oleh seseorang, saat itu kita mengatakan bahwa orang tersebut jahat karena telah merugikan kepentingan kita. Kata kuncinya adalah ‘kepentingan’ pribadi kita. Saat kepentingan atau kenyamanan kita terusik, kita lantas menuduh orang tersebut jahat. Inilah definisi kita. Definisi orang ’sakit’. Mengapa?
Karena kita masih saja menganggap paling benar. Paling baik, paling agamis. Dan paling – paling yang lain. Kita masih berbuat sesuatu karena ego. Kita belum tumbuh kembang seprti bunga. Kita belum berkicau seprti burung. Bunga dan burung berkicau karena mereka riang. Buanga bertumbuh sehingga menjadi ndah karena bersyukur. Ia berhias diri karena ia bahagia. Ia tidak perlu berhias untuk minta perhatian dari manusia….
Do Good because You are Good……