Saat pagi hari dan malam hari, seorang bapak atau ibu hidup di dunia rumah. Siang sampai sore hari hidup di dunia kerja. Masing-masing dunia seseorang berperan sebagaimana jabatannya. Yang repot adalah ketika pulang ke rumah masih membawa dunia kerja. Tahu sendiri akibatnya, kacaulah rumah tangga. Di kantor berperan sebagai bos, jika dalam pergaulan masih saja membawa dan berperilaku sebagai bos kantoran, jelas bakal kacau juga pergaulan.

Memperhatikan hal ini kita kemudian sadar bahwa sesungguhnya setiap orang memiliki dunia masing-masing. Inilah peran dalam kehidupan. Dan saat di dunia jika kita begitu terperangkap dalam memerankan sebagai pemain, maka saat kematian yang seharusnya semua peran ditanggalkan tetap terbawa oleh alam pikiran. Akibatnya bisa diduga, mau tidak mau suka tidak suka akan lahir lagi untuk menyelesaikan peran yang masih melekat.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Lingkaran kelahiran serta kematian tidak akan berhenti atau terputus selama kita tidak bisa menanggalkan peran saat di dunia. Semua yang berkaitan dengan benda dunia tidak satupun dibawa ke alam lain. Namun jangan lupa bahwa rasa memiliki tidak bisa lepas begitu saja. Dalam dunia benda, pikiran kita terisi atas rasa memiliki. Inilah kemelekatan atau keterikatan. Dan edannya adalah bahwa perjalanan sang jiwa tidak bakal usai selama pikiran terhadap keduniawian begitu melekat.

Pikiran kita yang mengurung atau memenjarakan sang jiwa. Walaupun sesungguhnya jiwa tidak bisa diikat oleh pikiran. Tetapi untuk memudahkan, maka sang jiwa ‘dianggap’ terpenjara oleh pikiran. So, sesungguhnya kapan terjadi kebahagiaan sejati?

Kebahagiaan sejati terjadi saat sang jiwa sadar bahwa dirinya bukanlah pikiran, indra maupun tubuh…

Tubuh tidak bisa terbentuk tanpa kehadiran sang jiwa. Saat kematian pun, tubuh tidak bisa terurai tanpa kehadiran sang jiwa. Sang jiwa berperan sebagai katalisator dalam penguraian air sebagai oksigen (O2) dan hidrogen (H). Saat kita melakukan penguraian air menjadi O2 dan H, kita butuh kehadiran listrik sebagai katalisator. Demikian juga saat kita menghendaki membentuk air dari unsur O2 dan H. Untuk membentuk tubuh kita yang terdiri dari milyaran atom, kehadiran sang jiwa dibutuhkan. Saat tubuh mati, seluruh atom dari tubuh akan kembali terurai dan tersebar ke seluruh alam semesta, kembali peran sang jiwa dibutuhkan.

Hal seperti ini berlaku terhadap semua benda, tidak ada pengecualian….

Oleh karenanya, adalah tujuan manusia untuk tetap sadar bahwa yang selama ini disebut ‘diri’ adalah sang jiwa. Apabila dalam kehidupan sehari-hari kita bisa tetap konsisten dalam kesadaran jiwa, semua gelombang emosi suka dan duka tidak akan bisa membuat kita sedih. Sumber dari suka dan duka adalah rasa kepemilikan terhadap benda. Ketika kesadaran senantiasa tertuju pada ‘diri’ atau Sang Jiwa.

Mungkin ada yang bertanya: ‘Kapan harus melakukan hal ini?’

Saat hidup sekarang. Saat ini….

Kita tidak bisa bebas dari kemelekatan setelah kematian. Kelahiran kita pun sesungguhnya sebagai akibat keterikatan pikiran kita terhadap benda duniawi saat kematian dalam kehidupan terdahulu. Keterikatan terhadap dunia benda hanya bisa dilepaskan saat tubuh kita berbadan. Saat hidup dalam dunia maya atau ilusi. Karena sesungguhnya yang disebut kemelkatan atau keterikatan juga ilusi. Tetapi efeknya tidak ilusi.

Dalam kehidupan saat ini saja hal tersebut bisa terjadi. Ketika suatu kapal dihantam oleh gelombang, kapal tersebut rusak parah. Jika kita cari gelombang yang mana yang menghantam, jelas tidak bisa diidentikasi jenis gelombang yang mana. Bukan kah itu ilusi? Efeknya ada, kapal rusak. Tubuh kita bisa sakit saat emosi kemarahan atau kesedihan kita terganggu. Ketika ditanya, mana yang disebut emosi? Hilang sudah, tetapi efeknya masih ada, tubuh yang sakit.

Kebahagiaan sejati terjadi saat kita tetap sadar bahwa diri ini sesungguhnya sang jiwa. Dan jiwa tidak butuh benda ini dan itu. Mungkin ada yang membantah, kalau begitu: Hidup saja di hutan. Mudah kawan hidup di hutan yang tidak ada benda, tidak ada kemewahan, tidak ada kenyamanan. Yang amat sangat sulit adalah ketika harus hidup di alam penuh kemewahan bagi tubuh dan kelezatan lidah merasakan rasa bistik dan nasi goreng. Tidak terikatnya tubuh terhadap kenyamanan itu yang disebut ‘moksha.’

Sadar akan jati diri menjadikan orang terus bisa berkarya tanpa pamrih. Ia telah menjadi sahabat alam semesta sekaligus pelayan alam dan isinya. Kita harus mampu menggunakan segala kenyamanan dan kemewahan dunia untuk sarana penunjang pencapaian kesadaran jiwa.

Sebagai salah satu contoh, AC. Saat kita duduk diam dengan mata terpejam, kita baru bisa nyaman jika dalam ruangan tersebut sejuk. Jika suhu ruangan panas atau gerah, kita duduk diam untuk meditasi tidak bisa rileks alias gelisah. Karena tubuh kita gerah. Atau jika duduk di luar kamar, kita tidak bisa bermeditasi duduk diam jika banyak nyamuk yang menggigit. Pemahaman saya, tubuh kita tidak bisa dimatikan rasanya sehingga tidak mempan lagi digigit nyamuk. So, khsusyuk bukan berarti kebal terhadap gigitan nyamuk. Hal ini tidak alami. Alaminya tubuh adalah jika digigit nyamuk berasa gatal atau sakit…