Suatu ulasan yang menarik dari seorang teman bernama Adhie yang dituliskan sebagai komentar. Patut disimak dan direnungkan….

Silakan membaca, jika tidak sesuai dengan pemahaman anda, tolong diabaikan saja…..

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Mari kita simak:

Energi yang memberi kehidupan baik di makrokosmos atau mikrokosmos adalah sama dan sudah ada sejak sebelum planet ini terbentuk. Terbentuknya suatu planet membutuhkan energi yang sama untuk memboosternya.
Terbentuknya manusia juga dilakukan oleh energi yang sama. Ada 5 elemen dasar yang sama pada semua makhluk, baik benda mati ataupun hidup. Hanya porsinya berbeda.

Belakangan seiring berkembangnya peradaban sebagai akibat otak manusia yang berevolusi terus (alam makro dan mikro ini dinamis. Kekal dalam perkembangannya) terpercik keinginan manusia untuk menghormati energi atau Sang Maha Energi yang memberi kehidupan. Maka sejak itu mereka mulai menghormati pohon, sungai, gunung, danau, hujan, matahari dsbnya. Hal ini dirasakan oleh manusia yang beradab. Mereka sadar bahwa energi penghidupan yang men-suport kehidupan mereka juga berasal dari sana. Ada hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Saling bersinergi. Namun sesungguhnya, keberlangsungan alam tidak bergantung manusia. Hanya saat manusia mulai membuat ulah, alam mulai terganggu. Dan eksistensi alam mulai tergantung pada kebijakan manusia.

Sebaliknya, manusia sangat bergantung pada alam. Jika alam rusak, celaka lah manusia. Sayangnya manusia kurang menyadari akan hal ini. Mereka sangat mengagul-agulkan egonya. Cari kenyamanan dan kenikmatan duniawi dari eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan.

Kemudian seiring dinamisasi pikiran manusia, mulailah mereka mencoba memberi nama energi penghidupan tsb.. Nama itu dikenal umum dengan sebutan Tuhan/God….. Sebetulnya tindakan ini mencerminkan mulai tumbuhnya ke ego-an dalam diri manusia seolah mereka ingin menaruh air samudera kedalam satu cangkir yang mereka sebut Tuhan/God tadi.

Seiring berjalannya waktu fikiran dinamis manusia terus meluncur sperti roda namun kali ini diiringi pertumbuhan egonya juga. Manusia mulai mengkotak- kotakan Tuhan/God kedalam wadah yang semakin sempit. Dengan nama yang beragam bahkan sesuai trend saat itu di daerah tersebut ditambah gaya bahasa mereka juga maka mulai ada nama ciwa,brahma,allah,alah,tao,zen,zarathustra dsbnya…

Bercermin dari rangkaian cerita tadi…masih ada manfaatnyakah kita memperdebatkan “tuhan” krn nama itu adalah sama dgn energy..(eksistensial energi).

Kalau kita menyadari diri kita menyembah energi yang sama buat apa kita capek-capek berdebat bahkan yang lebih extreme berperang membunuh sesama ciptaan Sang Maha Energi/Tuhan.

Bukankah akan lebih baik kalau kita belajar mengenal energi yang memberi kita hidup melalui cara yang sederhana yaitu : meditasi, inner journey/inner path, cari dia didalam bukan diluar. Karena kalau kita cari dia di luar cenderung salah.. dan boros.

Boros tenaga, pikiran dan uang… Seharusnya uang yang kita kumpulkan dengan susah payah bisa dimanfaatkan untuk pendidikan anak cucu sehingga SDM bangsa ini meningkat, namun yang terjadi banyak uang terboroskan untuk pergi ke tanah yang dianggap lebih “suci”.

Mudah-mudahan kita semua bisa instropeksi mengkoreksi apapun itu termasuk keyakinan kita karena alam ini dinamis. Maka semestinya kita juga demikian tidak kaku dan menolak perubahan kearah yang lebih baik..

Salam rahayu
Adhie