Demokrasi Berlandaskan Kemanusiaan/Neocortex Sebagai Implikasi Sila Ke 4 (Empat)

Bagi negara kita yang berlandaskan Pancacasila untuk memutuskan segala perkara hukum, termasuk pepbuatan hukum, semestinya mengacu Sila ke 4:  ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan’ Inilah Demokrasi Berlandaskan Kemanusiaan/Neocortex.

Demokrasi Berlandaskan Kemanusiaan/NeocortexSayang seksli dalam kenyataan praktiknya, kita masih meniru cara demokrasi seperti era penghukuman Jesus, atau mungkin lebih kuno lagi. Inilah contoh atau cara demokrasi yang digunakan kala itu; dikutip dari Injil Matius 27:19-26 :

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

“Ketika Pilatus sedang duduk di kursi pengadilan, istrinya mengirimkan pesan
kepadanya:’Jangan engkau mencampuri perkara orang benar itu, sebab karena Dia
aku sangat menderita dalam mimpi tadi malam.’
Tetapi oleh hasutan imam-imam kepala dan tua-tua, orang banyak bertekad
untuk meminta supaya Barabas dibebaskan dan Jesus dihukum mati.
“Wali negeri menjawab dan berkata kepada mereka: ‘Siapa di antara kedua orang itu yang
kamu kehendaki kubebaskan bagimu/’ Kata mereka ‘Barabas’
“Kata Pilatus kepada mereka: ‘Jika begitu, apakah yang harus kuperbuat dengan Jesus,
yang disebut Kristus?’ Mereka semua berseru: Ia harus disalibkan!!’
“Katanya: ‘Tetapi kejahatan apakah yang telah dilakukan Nya?’
Namun mereka makin keras berteriak: ‘Ia harus disalibkan!’
“Ketika Pilatus melihat bahwa segala usaha akan sia-sia, malah sudah mulai timbul kekacauan,
ia mengambil air dan membasuh tangannya di hadapan orang banyak dan berkata:
‘Aku tidak bersalah terhadap darah orang ini; itu urusan kamu sendiri!’
“Dan seluruh rakyat menjawab: ‘Baiklah darah Nya ditanggungkan atas
kami dan anak-anak kami!’
“Lalu ia membebaskan Barabas bagi mereka, tetapi Jesus diserahkan pada mereka untuk disalibkan.’

Silakan simak yang di-bold. Semuanya berlandaskan keputusan mayoritas.

Pertanyaannya adalah: ‘Bagaimana bila mayoritas yang menentukan keputusan dalam perkara belum memiliki kecerdasan atau saya lebih tekankan bahwa para penentu keputusan masih mengandalkan emosi?

Bukankah bila kita masih menggunakan emosi juga berarati masih pada ranah atau wilayah otak mamalia?

Rasa takut dalam memutuskan perkara juga ranah otak reptilia?

Mari kita ambit contoh kasus lain……..

Alkisah:

Di Suatu desa terpencil jaman dahulu kala…..

Kikisahkan ada seorang yang dinyatakan meninggal dunia. Adalah suatu kebiasaan adat turun temurun bahwa bila ada seorang yang dinyatakan meninggal wajib diperiksa oleh 5 orang untuk memutuskan bahwa orang tersebut sungguh-sungguh meninggal dunia..

Datanglah ke 5 orang tersebut memeriksa jenazah. 5 orang tersebut terdiri dari satu orang yang mungkin di era modern disebut dokter. Artinya betul-betul memiliki keahlian untuk memastikan bahwa orang sudah mati.

Sedangkan 4 lainnya warga biasa yang tidak memiliki keahlian khusus. Diangkat hanya sebagai kehorma tan bukan karena keahliannya. Mungkin tetua adat.

Tiba saatnya pemeriksaan. Setelah diperiksa dengan teliti, Si ahli sangat mengetahui bahwa orang tersebut belum meninggal dunia secara total. Mungkin bisa dikatakan dalam keadaan koma.

Giliran 4 orang lainnya yang karena tidak memiliki keahlian dalam bidang tersebut, dengan mudah dan cepat mengatakan bahwa orang tersebut sdudah meninggal. Karena memang keputusan untuk menentukan harus pada suara terbanyak, akhirnya orang tersebut dikuburkan.

Pola ini yang kita anut dalam demokrasi saat ini; suara pada jumlah terbanyak. Inilah kenyataan. Karena memang mayoritas rakyat kita belum memiliki kecerdasan atau kebijaksanaan yang mampu berpikir kritis. Sedangkan kemampuan critical thinking hanya ada di otak baru atau neocortex atau disebut sebagai Demokrasi Berlandaskan Kemanusiaan/Neocortex

Mari kita kaji Sila ke 4 :

                                            Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan

Yang memimpin haruslah memiliki kebijaksanaan atau orang yang bisa secara utuh menggunakan Neocortex, bagian otak yang memiliki kemampuan untuk menimbang secara arif. Kemudian dimusyawarahkan atau dirapatkan berdasarkan keahlian atau atas landasan kebijaksanaan bukan suara banyak tetapi masih menggunakan otak hewan: mamalia dan reptil.

Bukan rahasia lagi bahwa banyak yang ditakahn wakil rakyat semata ada duit. Sehingga saya juga bingung harus mulai dari mana agar dapat menghasilkan pemimpin yang baik.

Seorang pemimpin yang baik mesti diproduksi dari masayarakat yang pintar. Dengan kata lain semestinya kita memiliki pendidikan yang mengedepankan karakter atau pendidikan berbasis kemanusiaan alias otak manusia bukan otak hewan alias mamalian and reptilian brain.

Saya ingat salah satu bait dalam lagu Indonesia Raya:

……..Bangunlah Jiwanya Bangunlah Raganya……..

Pengertian saya yang dimaksudkan dengan ‘Jiwa’ adalah pendidikan yang mengutamakan kemanusiaan. Baru kita bisa membangun suatu negara yang betul-betul mengutamakan rasa kemanusiaan. Pendidikan yang utama adalah menumbuhkembangkan potensi KEMANUSIAAN dalam diri seorang Anak.

Ingat kita telah persah berjaya era Sriwijaya……..

Sriwijaya terdiri dari dla suku kata:

Sri berasal dari kata Sanskrit : Shri yang berarti kemuliaan……..

Wijaya asalnya Vijaya kemenangan ..

Jadi maksudnya adalah bahwa segala kemputusan hukum daam pemerintahan mesti dikedepankan KEMULIAAN……Atas dasar kepentingan umum atau rakyat banyak…..

Inilah sebabnya Kerajaaan Sriwijya menguasai lautan dan berdiri selama 7-8 abad……..

Mereka tidak pernah menjajah negara lain. Negara lain merasa tunduk dan mengagumi kearifannya……

Sangat beda dengan era Majapahit yang menggunakan tentara untuk menguasai wilayah lain. Silakan baca buku Sutasoma karya Bapak Anand Krishna:

Sandi Pengingat Bagi Majapahit