Cerita tahun 1900 an. Saat itu, seseorang mengendari mobil Ford tipe ‘T’. Dalam perjalanannya, si mobil mogok. Si sopir tahu banyak tentang mesin, dan berupaya memperbaikinya. Semua bagian sudah di setel sebagaimana yang diketahuinya. Namun, si Ford T tidak juga bisa nyala mesinnya.
Pada saat itu, ada seorang pengendara mobil lewat. Ia berhenti dan bertanya: ‘Ada apa dengan mobil Ford T tersebut?’ Dan setelah mengetahui permasahannya, si pak tua pengemudi mobil tersebut turun dan berupaya membantu agar mobil bisa hidup dan berjalan. Tidak lama kemudian, si mobil Ford T bisa hidup dan berjalan.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Si pemilik mobil Ford T, heran dan bertanya. Bagaimana bisa memperbaiki, pada hal ia yang memiliki keahlian dalam bidang permesinan tidak bisa membuat mobil bisa hidup. Kemudian ia bertanya, siapakah gerangan pria tua pemilik mobil tersebut? Si pak tua menjawab bahwa ia lah Henry Ford si pembuat mobil.
Di kalangan para pejalan spiritual, cerita ini banyak digunakan sebagai inspirasi….
Hanya si pencipta lah yang bisa memperbaiki ciptaannya. Bukankah Henry Ford pencipta atau pembuat T Ford? Inilah sebabnya, ia bisa memperbaiki mobil yang rusak tersebut. Tolong jangan dibandingkan dengan pencipta mobil sekarang… Beda. Karena si mobil telah banyak di modifikasi oleh yang bukan pembuat awalnya.
Mari kita analogikan dengan diri kita. Bukan kah diri kita diciptakan oleh Tuhan. Jika kita simak ayat dalam berbagai kitab yang dituliskan oleh para suci serta avatar, banyak hal menunjukkan bahwa Tuhan ada di luar dan di dalam tubuh kita.
Banyak para sufi mengatakan bahwa ia sudah pergi ke tempat-tempat suci,namun tidak juga ketemu Tuhan. Hamzah Fansuri, seorang sufi dari Aceh pernah berkata bahwa ia telah mengunjungi berbagai tempat suci. sayangnya, ia tidak menemukan Tuhan. Selanjutnya, ia berkata bahwa Tuhan dapat ditemui hanya dalam diri.
Jika demikian, Tuhan yang ada dalam diri kita lah yang bisa memperbaiki kerusakan mental serta pikiran kita. Jangan mencari Tuhan di luar diri. Dan ketika kita memberhalakan diri pada tuhan di luar diri, kita tambah rusak. Para guru sejati selau mengatakan hal yang sama. Mereka hanya berbagi pengalaman. Dan selanjutnya, para murid akan dituntun oleh guru sejati yang ada dalam dirinya. Mereka sadar bahwa hanya Dia yang ada dalam diri setiap insan lah yang bisa menunjukkan jalan menuju Kebahagiaan Sejati.
Jika kita mau memperhatikan, sesungguhnya semua masalah pada diri kita terjadi karena ulah kita, maka yang bisa memperbaiki juga diri kita.
Ada suatu cerita yang mungkin bisa menjadikan kita sadar…
Pada suatu ketika, ada seseorang bercerita bahwa ia ada kasus dengan seorang janda yang sudah punya anak. Hubungan emosional telah berjalan lumayan lama. Pada hal, orang tersebut sudah beristri. Tidak tahu ada masalah apa dalam keluarganya, ia menjalin hubungan dengan si janda. Kesepakatannya, si lelaki akan menceraikan istrinya agar bisa menikah dengan si janda. Setelah proses perceraian sedan berjalan, cerita berganti…
Oleh si ibu dari janda, si janda akan dijodohkan dengan seorang duda beranak juga. Kebetulan si duda anak teman dari ibu si janda. Karena mencintai sang ibu, si anak pun setuju. Sepertinya ia sadar bahwa jika diteruskan dengan si lelaki yang sudah punya anak dan istri, ia menjadi perusak rumah tangga. Disamping itu, ia juga bisa membahagiakan sang ibunda tercinta. Dan dalam proses pernikahan.
Kembali pada pria yang sedang memproses perceraian dengan istrinya. Ia kelimpungan dan berteriak menuduh bahwa si janda tidak setia.
Jika anda bertemu dengan orang seperti ini, jangan coba beri dia nasehat. Karena sakit hati, segala nasehat yang diberikan dianggap membela keputusan si janda…
Apapun nasehatnya tidak bakal bisa. Karena yang tahu dan menyelesaikan permasalah adalah di pria atau lelaki utu sendiri. Orang luar hanya bisa memberikan pertimbangan.
Dari sudut pandang para pejalan sunyi atau spiritual. Bukankah Tuhan telah menunjukkan keputusan yang tepat?
Si janda bisa menikah dengan duda yang juga punya anak. Tidak satupun yang disakiti, bahkan membuat ibu si janda bahagia.
Jika sang janda kejadian menikah dengan si lelaki sudah beristri, anak dan istri yang dipisahkan bakalan menderita. Ibu si janda juga belum tentu senang dengan keputusan si lelaki untuk menceraikan isri demi menikah dengan sang janda, anaknya. Ia merasa berdosa telah membuat keluarga lain berantakan sehingga membuat istri dan anak menderita.
Alam atau Tuhan telah menunjukkan jalan yang terbaik bagi si pria. Tetapi karena ego yang merasa paling benar, ia menyalahkan keputusan si janda. Ia sakit hati.
Bukan kah hal yang sama juga sering terjadi pada diri kita?
Keputusan Tuhan yang bijaksekalipun selalu saja kita salahkan karena tidak bisa memenuhi keinginan nafsu kehewanian dalam diri kita. Bagaikan obat, walaupun pahit namun membuat sakit kita baik. Sedangkan makanan, walaupun lezat di lidah namun bisa membuat diri kita sakit….
Ahhh………….. Dunia yang selalu tetap permainannya…..