Jangan berikan mutiara pada babi. Ini kalimat yang pernah diberikan oleh para suci dan para nabi. Mungkin kalimat ini tepatnya disampaikan oleh nabi Isa. Babi tidak bisa membedakan antara butiran makanan dan mutiara. Babi hanya kenal makanan. Dengan kata lain, babi belum memahami nilai mutiara.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Kata mutiara atau kata bijak yang menghantar manusia hanya dikenal oleh mereka yang sudah memahami makna kebahagiaan. Para orang yang sudah bisa makan dan tidur nyenyak di kamar yang nyaman dan sejuk ber AC sudah memahami arti kebahagiaa.
Mereka sadar bahwa harta duniawi sebanyak apapun tidak bisa menghantarkan ke alam bahagia. Pemenuhan terhadap kenyamanan badan bukanlah kebahagiaan. Itu hanya sekedar kelegaan atas tercapainya keinginan. Setelah itu??? Ia akan berburu kepuasan dari keinginan lain lagi. Perhatikan saja mereka yang rela menempuh perjalanan panjang sekedar berburu kuliner. Banyak orang pergi ke Bandung atau Bogor pada akhir pekan sekedar mencari pemuas lidah. Pemuasan indrawi. Dan kejadian seperti ini berulang terus menerus, tiada puasnya.
Lantas apa yang bisa menjadikan seseorang puas dan merasa cukup?
Rasa puas dan cukup hanya bisa dipenuhi oleh berkembangnya rasa bahagia dalam diri sendiri. Berkembangnya Kasih. Kasih itulah Allah. Rasa bahagia tidak bisa dipenuhi oleh sesuatu yang bersifat sementara. Semua benda yang kita kenal hanya bersifat sementara. Bahkan mungkin bisa dikatakan sekedar ilusi. Sesaat ada dan sesaat kemudian tiada. Penemuan keilahian dalam diri menjadikan seseorang merasa bahagia dan puas. Dan anehnya, semua ada dalam diri sendiri. Tidak perlu dicari. Cukup disadari.
Seseorang yang berharta berlimpah dengan terpenuhinya sandang dan pangan dapat dipastikan tidak merasakan bahagia. Harta benda bagaikan asap atau awan dan tidak memenuhi dahaga kebahagiaan. Ia berkata: ” Ahh, ternyata harta benda tidak bisa menghantarkan rasa bahagia.”
Tetapi bisakah ia berkata pada seorang pengemis, ia berkata: ” Hai pengemis, harta tidak bisa membahagiakan. Banyak sudah aku miliki tetapi tetap tidak membuat diriku bahagia.”
Dengan lantang si pengemis manjawab: ” Tahu apa kamu tentang penderitaan tidak punya uang? Aku tidak bisa makan dan keluargaku kelaparan. Sudah pergilah jika tidak mau memberi uang, Aku tidak butuh nasehatmua. Aku butuh uang untuk membeli makanan.”
So, itulah yang dibutuhkan oleh seorang pengemis. Kenyamanan dari kenyangnya perut.
Latas, mungkinkah sifat pengemis ini dijumpai pada para pemburu surga????
Mengapa tidak???
Seseorang yang memburu surga bertujuan diperolehnya kenyamanan dari surga. Ketika mereka yang melakukan ritual untuk mendapatkan kenyamanan tidak beda dengan jiwa pengemis. Mengapa surga diburu atau diharapkan ketika seseorang berbuat baik? Ia akan menjawab bahwa surga adalah sumber kebahagiaan. Coba bayangkan apa yang akan di dapat di surga?
Tidak lebih tidak kurang sama dengan yang bisa dirasakan oleh kenyamanan badani. Bidadari cantik bertelanjang dada? Tentu ujungnya berkitan dengan pemuasan nafsu seksual. Arak atau minuman yang dilarang di bumi dan bisa di dapatkan nanti di surga? Sungai susu yang mengalir tiada henti?
Bukankah semua yang kita bayangkan akan diperoleh di alam surga tiada beda dengan yang bisa diperoleh di bumi? Karena referensi kita masih pemuasan inderawi.
Mental mereka yang berburu surga adalah mental pengemis. Sama yang diburu: KENYAMANAN BADAN……