Surga di alam sana adalah imajinasi atau sekedar ilusi. Hidup saja ilusi. Sesaat ada sesaat kemudian tiada. Bukankah semua seperti awan di langit? Sesaat ada beberapa saat kemudian hilang. Tiada sesuatu yang abadi. Surga abadi? Repot lagi. Jika surga abadi, bagaimana dengan Tuhan? Apakah bagi Tuhan surga diperlukan?

Bukankah Tuhan di atas surga atau neraka? Sepertinya tiada kepentingan Tuhan dengan surga atau neraka. Selama ini yang sibuk membicarakan surga atau neraka hanya manusia. Saking sibuknya harapkan surga sampai berbuat merugikan orang lain. Seakan dirinya sendiri penentu masuk surga atau tidak adalah dirinya.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Manusia lupa bawa setiap insan dijamin masuk surga. Dia yang maha adil sangatlah bijaksana dan adil. Tiada seorangpun tidak diberkan kesempatan masuk surga. Permasalahannya terletak pada si manusia sendiri. Beta atau tidak ia berada di surga Nya Tuhan.

Barang siapa membiasakan hidup di dunia bagaikan surga di alam sono, dengan sendirinya ia akan betah ketika berada surga alam akhir. Biasakan diri hidup rukun dan damai dengan tetangga. Mereka yang senang melakukan perbuatan yang merasa paling baik tidak bakalan betah di alam kemuliaan seperti surga.

Surga yang terinspirasi kenyamanan atau kenikmatan dunia adalah surga ciptaan manusia yang tidak terpenuhi keinginan untuk menikmati kenyamanan dunia. Bagi mereka yang memiliki uang banyak, tidak bakalan kena pelet iming-iming bidadari surga. Jika di bumi saja memiliki uang cukup untk menikmati bidadari dan mandi susu, mengapa mesti menunggu di alam sana?

Kemungkinan lain adalah bahwa saat matipun tidak bakalan ketemu Tuhan. Mengapa? Istilah Tuhan dibutuhkan oleh manusia yang tidak menyadari kesatuannya dengan Tuhan. Mungkinkah manusia hidup di luar Tuhan? Jika tidak, bagaimana mungkin manusia terpisahkan dari Tuhan?

Tanpa ada Tuhan, tiada manusia. Inilah pengetahuan kita yang serba terbatas. Karena keterbatasan kita pula, kita mengadakan Tuhan. Yang dibutuhkan hanya sadar bahwa manusia terbatas adanya.

Jika manusia hidup dalam Tuhan, adakah yang disebut ateis? Bukankah sebutan juga berasal dari pikiran? Adanya Tuhan juga berasal dari pikiran. Tanpa ada pikiran, tiada istilah Tuhan. Yang parah lagi jika Tuhan pun digunakan manusia yang tidak sadar bahwa ia bisa hidup hanya jika berada dalam Tuhan. Dalam ketidaksadaranya si manusia menggunakan nama Tuhan untuk melaukan perbuatan yang bertentangan dengan asma Nya.

Di atas segalanya, cerita surga pun dibutuhkan agar manusia sedikit patuh. Kenyataannya? Mereka yang katanya percaya surga dan neraka melakukan perbuatan yang jelas-jelas bertentangan dengan prinsip kesurgaan..