Belajar dari KABIR sang sufi yang dimuliakan. Ia hidup dengan penuh kesederhanaan. Ia makan dari hasil penjualan menenun kain. Hasil tenunan, ia bawa ke pasar dan dengan ikhlas dijualnya berapapun uang yang dibayarkan kepadanya. Setelah ia memperoleh hasil, ia makan dari hasil penjualannya. Ia akan menjamu siapapun yang datang ke rumahnya. Tiada kamus dalam dirinya menolak kedatangan tamu. Dan tamu yang hadir dianggapnya sebagai Tuhan. Ia selalu menjamu tamunya.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Satu yang mengingatkan kebijakan Sang Sufi Mulia,
AKU TERTAWA GELI MELIHAT IKAN YANG KEHAUSAN DALAM AIR
Ini diutarakannya saat melihat manusia yang sibuk mencari Tuhan. Tuhan bagaikan air dan ikan. Air berada di dalam tubuh dan di luar tubuh ikan. Sang ikan akan mati ketika keluar dari air. Bukan kah manusia juga sudah lahir di dalam Tuhan? Sementara dalam dirinya juga bersinggasana Tuhan.
Lantas mengapa bingung mencari Tuhan?
Tuhan ada atau tidak karena ulah sendiri. Manusia lah yang mengadakan Tuhan. Banyak manusia bertengkar untuk mempertahankan keyakinannya. Ketika manusia selalu mempertanyakan Tuhan atau selalu menyangsikan keyakinan orang lain atas adanya Tuhan, sesungguhnyalah ia yang sedang me-yakin-yakin-kan dirinya bahwa Tuhan ada.
Sama saja ketika manusia berpindah agama. Ketka seseorang berpindah keyakinan, pada umumnya ia menjadi keras. Mengapa? Karena ia sedang berupaya meyakinkan dirinya bahwa agama atau keyakinan yang dianutnya saat ini benar. Ia hanya sedang meyakinkan dirinya. Sehinga manusia yang berpindah agama sering menjelekkan agama atau keyakinan yang dulu di anutnya.
Bagaikan seorang yang menggali sumur untuk memperoleh air. Menggali sumur baru 5 meter, ia sudah tinggalkan. Ia merasa tidak menemukan sumber air. Kemudian, ia menggali di tempat lain. Baru 5 meter, ia merasa jenuh dan berpindah lubang lagi. Demikian juga manusia yang berpindah keyakinan. Perdalam lah keyakinan tersebut sampai tuntas. Dan yakinlah bahwa sumber mata air kehidupan pasti ditemukan.
Semua ajaran para suci dan nabi bersumber dari mata air yang sama.
Lucu sekali ketika para pengikut nabi berkelahi. Tidak mereka sadar bahwa saat ini para nabi yang diyakin menyebarkan ajarannya sedang berpesta dan bersendau gurau bersama? Para suci dan nabi akan mengkerutkan dahi ketika melihat oleh para pengikutnya.
Mereka akan menggerutu dan bergumam, Ahhhh…. ternyata kalian tidak memahami ajaranku. Aku hanya sekedar menyampaikan sesuatu yang bersifat pengulangan. Tiada yang baru dalam ajaranku. Hanya disesuaikan dengan kondisi setempat. Semua berasal dari budaya lokal. Dengan demikian ajaran para nabi sesungguhnya hanya sesuai dengan lingkungan awalnya.
Namun demikian, bila ajaran tersebut mesti berkembang, maka sebaiknya di akulturisasi dengan budaya setempat. Bukankah budaya setempat lebih melekat terhadap sifat orang tersebut?
Segala ajaran berpangkal pada satu ujung. KASIH……
KASIH itulah TUHAN…..