Suara Nurani
Kita sudah sering mendengar tentang suara nurani. Namun, benarkah kita memahami makna dan berani menyatakan diri untukm mengikuti suara yang bersumber dari nurani? Amat sangat sedikit yang berani mematuhi suara hati atau nurani. Kita adalah kaum amnesia yang lupa bahwa Dia yang Maha Hidup dan menghidupi berada atau bersinggasana dalam sanubari setiap orang.
Amat sangat beruntung sebagai makhluk yang disebut manusia bisa mengenal atau diberikan kesempatan untuk bisa mendengar suara dari sanubari. Adalah suatu yang tidak mungkin bahwa hanya pada manusia, Dia bersinggasana. Mau bukti?
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Semua makhluk hidup hidup dan mengikuti instink yang berasal dari dalam diri. Hewan dan tumbuhan hanya makan dan minut sesuai kebituhan untuk hidup. Mereka tidak memiliki keserkahan sebagai manusia yang tidak mau mengengar suara terdalam. Hewan serta tumbuhan , terutama tumbuhan hidup bagi makhluk lain. Karena tinkgkat mind yang mash rendah, ia bisa mngikuti suara dari dalam diri.
Suara dalam tertutup
Suara dari dalam bisa tertutup ketika mind atau gugusan pikiran serta perasaan berkembang. Pikiran serta perasaan mengusai suara dari sanubari. Awan inilah yang disebut selubung kebodohan. Kebodohan yang berarti hanya mempercayai yang dilihat oleh mata kasar. Suara yang bisa didengar melalui telinga atau indra. Kita amat sangat mempercayai indra. Seakan indra paling benar.
Tanpa sadar sesungguhnya selama ini kita telah menjadi bidak dari indra, sekaligus huga budak masyarakat sekitar. Karena memang pada umumnya mayoritas bergantung pada kenyamanan indra. Kita lupa bahwa ada yang menggerakkan rasa dari indra tersebut. Dialah Sang Maha Jiwa.
Keberanian mengikuti Suara Nurani
Untuk mengikuti suara nurani dibutuhkan keberanian untuk melawan hipnosis massal. Belajar dari pengalaman seorang selebritis…
Seorang selebritis atau public figure berani melepaskan atribut yang ole mayoritas kepercayaan di suatu daerah dianggap sebagai lambang ‘pencerahan’. Atau kerennya hidayah atau anugerah.
Suatu ketika, ia pergi ke Jepang. Tidak lama. Hanya 2 hari, katanya. Di tempat tersebut yang mayoritas penduduknya tidak menganut kepercayaan atau keyakinan tertentu sebagaimana yang ada di negaranya, ia tertarik pada keadaan di negeri tersebut.
Dalam satu catatan yang ada pada medsos, ia menuliskan bahwa ia terkesan pada keadaan daerah tersebut. Sampah tidak ada yang berceceran di jalan. Masyarakatnya hidup dengan rukun dan damai serta saling menolong dan berbagi. Mereka hidup ceria.
Ia mulai merenungkan, mengapa di negaranya yang katanya menganut keyakinan tertentu dan suka mengenakan atribut dari kepercayaan tidak bisa terjadi sebagaimana di Jepang. Bahkan atribut dianggap simbol bahwa orang tersebut suci. Tetapi ucapan serta kelakuanya tidak mencerminkan kesucian. Kalau boleh dikatakan bahwa sangat senang mengruis orang lain sehingga pada ujungnya keributan.
Pada akhirnya, ia berani mengikuti suara nurani atau kebenaran dari dalam diri. Ia melepaskan atribut yang oleh masyarakat di negaranya disebut hidayah saat awal mengenakan. Dengan penuh percaya diri, ia mengungkapkan bahwa keyakinan pada Tuhan tidak bergantung pada penilaian orang lain. Keyakinan pada Dia Hyang Maha Hidup adalah urusan pribadi yang tidak perlu campur tangan orang lain…