Dengan tidak menerima anjuran-anjuran, bukti-bukti yang diberikan dalam Veda maupun susastra lainnya, malah melanggarnya, berbuat apa yang dilarang, bersandar pada adharma atau kebatilan – seseorang kehilangan percaya diri, kepercayaan pada Jiwa sebagai percikan Sang Maha Agung. Demikian ia menjadi sebab kebinasaannya sendiri.

( Sara Samuccaya, Dvipantara Dharma Sastra by Anand Krishna, www.booksindonesia.com)

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Susastra berasal dari dua kata; ‘Su’ berarti baik. Dan Sastra berarti tulisan. Secara lengkap Susastra berarti tulisan tentang kebajikan. Kebajikan berarti perbuatan yang selaras dengan sifat alam. Selaras dengan sifat alam berarti mengasihi serta menyayangi alam sebagai bagian penunjang kehidupan kita. Tanpa memahami bahwa kita adalah bagian dari alam, sulit bagi kita untuk mengasihi lingkungan. Sayangnya banyak orang yang mengaku percaya pada keyakinan tertentu belum sadar juga bahwa alam disediakan untuk menunjang kehidupan manusia. Bukan dieksploitasi demi memuja kenyamanan indrawi.

Dari sini kita bisa mengkaitkan alinea pertama dengan cuplikan dari buku Dvipantara Dharma Sastra. Seseorang yang sadar bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta yang semuanya bersama hidup dalam Dia Yang Maha Hidup, memiliki rasa percaya diri bahwa dirinya juga sebagai percikan dari Sang Maha Agung. Rasa percaya ini membuatnya sadar bahwa hanya dengan memelihara lingkungan serta hidup dengan damai bersama sesama makhluk hidup atau dengan sesama manusia, ia bisa hidup.

Mereka menyadari bahwa jika dalam dirinya ada percikan dari Sang Maha Jiwa Agung, maka dalam diri orang lain ataupun makhluk lain juga bersemayam dzat yang sama. Kemudian ia menyadari bahwa bila ia ingin hidup dengan bahagia serta damai, ia berpegang pada prinsip: ‘Perlakukan orang laian atau sesama makhluk hidup sebagaimana dirimu ingin diperlakukan.’ Ia sadar bahwa pada alam ini berlaku hukum yang tak terbantahkan: ‘Hukum Sebab – Akibat’

Di sekitar kita banyak yang tampaknya mengaku bahwa ia menganut pada keyakinan tertentu, tetapi seringkali berperilaku bertentangan dengan sifat alam. Banyak ketertutupan yang diciptakan oleh pikiran telah membuat diri mereka terjebak dalam permainan ilusi atau dunia maya. Ia sedang membunuh keilahian atau diri sendiri.

Pikiran kita bagaikan dunia maya. Pikiran kita memiliki dua sisi, dan ini memang telah menjadi sifat alam. Sisi baik serta sisi yang membawa kita ke alam maya. Maya berarti palsu. Palsu berarti sesaat ada sesaat kemudian tiada. Ah…. permainan Mu indah ya Yang Maha Agung.

Pikiran yang ada dalam otak kita juga Dia yang memainkan. Yang mengingatkan agar tidak terjebak dalam dunia maya juga Dia. Intinya adalah bahwa kita bisa hidup bahagia atau tidak saat berada di alam maya? Karena sesaat ada dan sesaat kemudian tiada berarti besar kemungkinan kita akan masuk dalam alam suka-duka. Alam yang sesaat bisa mengangkat perasaan menjadi bahagia, walaupun semu. Bukan kebahagiaan sejati.

Kebahagiaan sejati terjadi ketika manusia sadar bahwa Diri yang sesungguhnya sebagai percikan dari Sang Maha Jiwa. Sebagai percikan dari Sang Maha Jiwa bermakna bahwa dirinya bukanlah bagian dari alam maya. Diri adalah abadi. Abadi berarti tidak pernah lahir juga tidak pernah mati. Jika kita sungguh yakin atau percaya pada hal ini, kita akan lepas dari alam maya.

Dengan mempercayai hal tersebut, secara alami ia tidak akan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan sifat alam. Ia amat tidak seronok bila berbuat yang memberikan akibat kerusakan bagi sesama maupun lingkungan. Sebagai akbatnya, ia akan masuk ke alam neraka. Alam penderitaan, walaupun masih di dunia. Mungkinkah?

Sangat mungkin karena ia sedang dalam kematian. Mati berarti tidak berkembang. Ia bagaikan mayat tiada jiwa. Hilang sudah sifat kemuliaan Sang Agung..

Para utusan telah memberikan pedoman bagaimana melakoni kehidupan berlandaskan Dharma, selaras dengan alam….