Menarik sekali mendengarkan cerita seseorang yang mengalami mati suri. Berbagai cerita mereka utarakan. Dan isinya dapat dipastikan berbeda satu dengan lainnya. Katanya ketemu orang-orang yang saleh. Orang yang bersinar wajahnya, hukuman neraka, dan sebagainya. Tetapi itu semuanya hanyalah permainan pikiran. Ini juga alasan penyebab pengalaman setiap orang berbeda. Bukankah pikiran orang juga berbeda satu dengan lainnya. Pikiran manusia menciptakan dunia bagi masing-masing orang.
Ketika seseorang mati suri, betul nafasnya ada. Jantungnya masih berdenyut, tetapi ketika kita memahami kerja pikiran, sesungguhnya roh masih ada. Roh yang merupakan gugusan pikiran serta perasaan atau mind sedang mengembara. Sang roh ini yang bertemu dengan roh yang lain. Itu juga jika ia menginginkan.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Saya ingat tentang suatu film yang menguraikan pengalaman roh setelah kematian, The Sixth Sense. Dalam film tersebut dikisahkan tentang seorang dokter yang juga psikolog yang meninggal. Pada pikiran terakhirnya, ia ingat pada seseorang yang ingin ia bantu. Si roh ini bisa berkomunikasi dengan pasien atau anak yang ada pada ingatan terakhirnya. Lengkapnya ada di sini.
Seseorang yang dalam keadaan mati suri pun demikian. Si roh mengembara sebagaimana isi pikiran selama masa hidup. Bila dalam kehidupan sehari-hari ia mengisi pikirannya dengan hal yang dianggapnya ada setelah kehidupan, hal itu pula yang akan dijumpai dalam pengembaraannya saat si tubuh mati suri. Tampaknya ia atau si orang yang mati suri hanya berjalan pada yang ada dalam pikirannya sendiri. Jika keinginan semasa masih hidup tentang orang yang saleh, itu pula yang akan dijumpai. Mengapa demikian???
Dalam hal ini kita mesti memahami pengetahuan sejati. Dan luar biasanya lagi adalah bahwa pengetahuan sejati hanya bisa dipelajari ketika masih bertubuh. Pengetahuan sejati tidak akan diperoleh di alam setelah kematian. Hal ini berkaitan dibutuhkannya hardware, otak sebagai pengolah data. Tanpa adanya otak, kita tidak bisa mengolah data atau pengetahuan mentah yang kita serap dari seorang yang bijak. Saya katakan seorang yang bijak, karena ia hanya bisa berbagi pengalaman.
Pada umumnya, mereka disebut Sad Guru atau Master sejati. Mereka berbagai hal yang sudah dialaminya demi evolusi kesadaran sesama manusia. Melalui shares para Master, kita bisa belajar kemudian mencernanya. Tanpa ada otak sebagai hardware, data mentah yang kita terima tidak bisa dicerna atau diolah. Inilah yang disebut sebagai knowningness. Yang kemudian harus menjadi landasan hidup. Kesadaran ini membuat seseorang bisa bertindak dengan tepat. Ini juga bisa disebutkan sebagai intelejensia. Keceradasan alam.
Bila seseorang yang mengalami mati suri belum bisa mentransformasi intelektual menjadi intelejensia, maka yang bisa diceritakan setelah ia sadar hanyalah pengalaman yang berorientasi intelektual. Yang menurutnya benar. Karena memang hanya sampai tahap tersebut kemampuan daya inteleknya.
Sangat berbeda bagi seseorang yang sudah memiliki bekal intelejensia yang lebih matang. Pengalaman mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Yang beda adalah perilaku kesehariannya. ia lebih banyak menerapkan laku yang bermanfaat bagi sesamanya. Ia sadar bahwa yang disebut jiwa satu dengan lainnya tidak terpisahkan. Ibaratnya sinar matahari. Ketika memantul ke dalam satu ruangan, kemudian disebut sebagai cahaya.
Ruang ini adalah tubuh kita. Cahaya yang ada dalam tubuh kita merupakan pantulan sinar yang di luar tubuh. Tidak ada sinar matahari tanpa adanya matahari. Jiwa yang bersemayam dalam tubuh disebut sebagai jiwa individu. Asal dari cahaya yang di ruangan disebut sebagai sinar, kumpulan cahaya. Ini yang disebut sebagai purusha. Kumpulan jiwa individu. Asal sinar dari matahari. Asal purusha adalah Sang Maha Jiwa.
Sang jiwa tidak memiliki bentuk. Ia bisa memanifestasikan diri dalam berbagai wujud. Sesuatu hal yang di luar jangkauan pikiran serta perasaan atau mind. So, yang bisa dikisahkan oleh mereka yang mengalami mati suri sebatas kemampuan memori yang ada dalam mind mereka.
Segala sesuatu yang di atas hanya sebagai pandangan saya. Bila pembaca memiliki pandangan lain, itu juga salah satu sisi kebenaran. Bukankah kebenaran memiliki banyak sisi????
Mengintakan saya dengan pesan seorang utusan: ‘Kebenaranku bagiku Kebenaranmu bagimu’