Meditasi, yoga, dan semua latihan serta visualisasi bukan tujuan. Cara atau metoda tersebut hanyalah alat untuk mengubah intelektual menjadi intelejensia. Intelejensia berarti hidup selaras dengan sifat alam, berbagi kasih. Alat atau cara agar manusia kembali memiliki atau hidup berlandaskan sifat kemanusiaannya.
Demikian itulah tujuan keberadaan para nabi, yaitu membangunkan rasa empati dalam diri kita semua. Rasa empati adalah kesadaran bahwa manusia sesunggunya baik adanya. Baik dalam arti peningkatan kesadaran jiwa. Kesadaran jiwa berarti sadar bahwa kita harus mampu memperlakukan orang lain sebagaimana diri kita ingin diperlakukan. Bukankah ini pesan inti dari semua kepercayaan dan keyakinan?
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Hal yang harus kita waspadai dan ingat selalu adalah meditasi, yoga, serta segala macam latihan, termasuk visualisasi atau afirmasi tidak menjadikan kita bergantung padanya. Ini yang sering kita lupakan. Kita menjadi terikat bahkan bergantung pada tool atau alat yang kita ciptakan. Kondisi kita di era gadget serta komputer tidak beda alias sama. Kita bergantung pada alat ciptaan kita. Dengan kata lain, kita diperbudak oleh ciptaan kita.
Kita lupa bahwa jiwa individu yang saat ini sedang bermukim dalam diri kita haruslah bebas agar dapat menyatu dengan Sang Maha Jiwa. Istilah jiwa individu ‘terpaksa’ digunakan agar mempermudah pemahaman. Sesunggunya ke duanya tidak terpisahkan. Jika mau mudah, perhatikan cahaya matahari. Apakah sinar matahari yang masuk ke ruangan kita bisa dipisahkan dari cahaya matahari di luar? Demikian juga, apakah cahaya matahari bisa dipisahkan dari sang sumber, matahari? Tidak bisa. Hanya istilah agar bisa dibedakan.
Tujuan akhir dari latihan meditasi dan yoga bukan untuk meningkatkan ego individu. Bukan untuk dipamerkan. Bahkan tidak ada yang disebut tingkatan meditasi. Banyak orang salah memahami bahwa meditasi ada level atau tingkatan. Sangat mustahil meditasi diberikan level atau tingkatan. Bahkan seseorang baru dikatakan lulus meditasi pada saat tarikan nafas terakhir. Itupun hanya orang tersebut yang bisa tahu. Apakah pikirannya masih ada keterikatan terhadap kebendaan atau tidak? Siapa yang bisa tahu???
Dan hanya dia sendiri yang tahu. Karena hal ini menyangkut kelahiran kembali. Jika tidak terikat keduniawian, dapat dipastikan ia tidak lagi lahir. Tetapi jika saat tarikan nafas terakhir dalam pikirannya masih ada sedikitpun tentang duniawi, ia dapat dipastikan lahir kembali untuk menyelesaikan permainan.
Rasa kemanusiaan atau empati dapat dilihat dalam keseharian. Empati berarti kepedulian terhadap sesama. Tentu kepedulian yang paling baik adalah upaya untuk mengingatkan akan tujuan utama kelahiran manusia. Menyebarluaskan pengetahuan sejati. Juga untuk menyebarluaskan tentang ajaran Buddhi atau intelejensia. Saat seseorang intelejensianya berkembang, maka buddhi pun berkembang. Bukankah ini tujuan Sabdho Palon untuk hadir di bumi nusantara sebagaimana dijanjikan akan kembali 500 tahun setelah kepergiannya? Ingat, Sabdho Palon di zaman Majapahit, abad 16 atau tahun 1600 an……..