Melayani manusia berarti hanya manusia yang dilayani. Mereka yang melayani umat manusia. Apalagi jika didefinisikan lebih sempit, umat manusia yang sama keyakinan atau kepercayaannya, lebih parah lagi. Inilah sebabnya dalam sila ke dua dalam Pancasila disebutkan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Bukan manusia yang adil dan beradab.

Melayani kemanusiaan berarti menjunjung tinggi kemanusiaan. Sifat kemanusiaan adalah sifat yang ber-keilahian. Bagaimana bisa?

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Manusia terdiri dari 2 kata, manas dan isya. Manas berkaitan dengan mind atau pikiran intelektual. Isya berkaitan Ilahi atau keilahian. So, dalam diri manusia ada sifat pikiran intelektual yang senantiasa memikirkan bendawi atau duniawi atau bagian yang hanya bisa disentuh ataupun dilihat. Bagian luaran.

Jika kita mau menyentuh keilahian dalam diri, kita tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan melihat luaran. Tetapi kita harus menggali ke dalam diri. Kita tidak akan menemukan kesempurnaan di luar diri. Karena yang ada di luar diri tidak terlepaskan dari sifat dua litas. Suka dan duka. Siang dan malam. Sakit dan sehat. Ini bukan sifat kesempurnaan.

Mind atau manas selalu berkaitan dengan bendawi atau bagian luaran. Tiada kesempurnaan dalam pikiran atau mind. Isya adalah sifat Ilahi. Sifat kemuliaan. Sifat ketuhanan adalah sifat mulia. Benda dunia hanya bisa digunakan di dunia. Pikiran yang berisikan duniawi hanya bisa digunakan saat berada di dunia. Saat kita masa kunjungan kita di dunia berakhir, seharusnya pikiran yang berisikan masalah bendawi ataupun kebendaan juga berakhir. Sayangnya, kebanyakan dari kita melupakan hal ini.

Menjunjung tinggi kemanusiaan berarti kita tidak lagi mengkonsumsi hewan untuk memenuhi hasrat kenikmatan indra rasa enak pada lidah. Sifat kemanusiaan memegang prinsip dasar, ‘Perlakukan makhluk lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan’. Pola pikir kita mesti bertransformasi dari cara pikir hanya berlandaskan kenikmatan panca indra atau preya menjadi pola pikir yang berlandaskan kemuliaan atau shreya.

Pola pikir berlandaskan kemuliaan adalah sifat ketuhanan. Sifat ketuhanan bermakna sifat mengasihi dan menyayangi sesama makhluk hidup. Bukankah semua makhluk hidup kita fahami sebagai ciptaan Tuhan? Bukankah semua makhluk hidup bisa hidup karena ada dzat Yang Maha Hidup?

Jika kita mengakui dan menjunjung tinggi Tuhan sebagai Dia Yang Maha Hidup, bagaimana mungkin kita bisa melakukan pembunuhan demi menjunjung tinggi kenyamanan lidah? Apakah kita mati jika tidak mengkonsumsi hewan?

Mungkin saja banyak yang akan membantah, bukan kah dalam keyakinan yang saya anut hal itu tidak dilarang?

Boleh saja kita berargumen demikian, tetapi apakah dengan mengkonsumsi daging hewan dengan cara membunuh makhluk hidup, kita menjunjung tinggi kemanusiaan? Bukan kah sifat kemanusiaan bermakna menjunjung tinggi keilahian dalam diri?

Menumbuhkembangkan keilahian dalam diri kita adalah upaya untuk menggapai persatuan dan penyatuan dengan Dia Yang maha Tunggal. Saat keilahian dalam diri dikorbankan demi kenyamanan lidah yang bersifat sementara, lenyap juga peluang untuk menggapai penyatuan dengan Yang Maha Hidup. Karena kita telah mengorbankan kehidupan yang ada dalam makhluk hidup demi menjunjung kenikmatan rasa lidah.

Tampaknya lebih mudah mengatakan melayani umat manusia daripada melayani kemanusiaan. Kita bisa melayani manusia dengan bertopeng kemunafikan. Tampak dari luar kita melayani, tetapi dalam hati berbeda. Kita bisa mencaci maki. Kita hanya mencari pujian. Berbeda dengan melayani kemanusiaan.

Melayani kemanusiaan bertujuan memuliakan sifat kemanusiaan atau keilahian dalam diri. Sifat kemuliaan. Sifat kesucian dalam diri akan tumbuh kembang ketika kita bisa menafikkan kenyamanan panca indra. Panca indra hanya dikenal saat di dunia. Saatnya kita mengakhiri kunjungan di bumi, saat itu pula indra selesai tugasnya. yang tersisa adalah kesan yang ada dalam memori.

Celakanya, kesan dalam memori tentang kenyamanan indra lidah dan lainnya akan menjadi beban dalam melanjutkan perjalanan evolusi. Mengapa? Bisa dibaca disini.