Saya kutip dari buku Yoga Sutra Patanjali by Anand Krishna, www.booksindonesia.com:

Sutra II.40:

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Dari kesadaran akan Sauca atau kesucian, kemurnian, muncullah rasa jijik terhadap badan fisiknya sendiri, yang pada hakikatnya adalah kotor dan senantiasa berubah mengikuti hukum kebendaan – demikian ia terbebaskan dari keterikatan pada badan fisik; dan muncul pula rasa enggan untuk berinteraksi secara fisik dengan badan-badan lainnya.

Jika sekilas membaca ayat di atas, banyak orang akan bingung. Tetapi jika kita maknai dari sisi kebaikan bagi diri sendiri, ayat di atas akan membantu kita menggapai tujuan dari kelahiran.

Sang Jiwa suci adanya. Bagaimana memaknai kata ‘suci’ ini?Suci berarti tidak gampang terpengaruh oleh keadaan di luar diri. Tubuh, prana atau aliran kehidupan serta pikiran atau mind sangat mudah terpengaruh. Karena semuanya masih berhubungan dengan tubuh atau badan lain. Semuanya masih di alam dua litas, alam yang selalu berubah. Bahkan bisa dikatakan bahwa perubahan itulah yang abadi. Jiwa?

Mungkinkah berubah? Jiwa dari sejak keberadaannya tidak berubah. Sang Jiwa lah yang menciptakan alam benda, termasuk pikiran atau mind sebagai alat permainannya. Sang Jiwa bersifat abadi. Semuanya berubah tetapi jiwa tidak akan terpengaruh oleh ciptaan Nya. Tanpa adanya Jiwa, dunia tidak akan eksis. Dia Sang maha Ada, dalam diri manusia ada yang disebut sebagai jiwa individu. Jiwa individu hanya istilah untuk membayangkan, sesungguhnya tidak ada keterpisahan antara Jiwa individu dengan Sang Maha Jiwa. Karena, tanpa adanya Sang Maha Jiwa Agung, tidak akan ada yang disebut Jiwa Individu.

Jiwa Individu murni adanya. Bisa di analogikan sebagai percikan air laut dan laut. Secara substansi kimiawi yang ada dalam percikan air laut dan laut dapat dipastikan sama. Hanya berbeda dalam kuantitas, kualitas tidak beda. So, jika Sang Maha Jiwa Agung, maka Jiwa Individu pun murni. Tanpa kehadiran Jiwa Individu, atom-atom tidak bisa membentuk tubuh kita. Kehadiran jiwa bagaikan katalisator energi listrik sebagaimana saat memisahkan air menjadi oksigen dan hidrogen. Demikian juga untuk menyatukan oksigen dan hidrogen membentuk air dibutuhkan kehadiran energi listrik sebagai katalisator. Energi listrik murni, ia tidak terpengaruh oleh oksigen maupun hidrogen.

Rasa jijik adalah istilah untuk memudahkan saja. Karena jika benar jiwa timbul rasa jijik terhadap tubuh, bagaimana mungkin? Karena tanpa kehadiran tubuh atau badan, jiwa individu sebagai percikan Sang Maha Jiwa Agung tidak memiliki arena bermain. Bukan kah alam benda termasuk tubuh ini arena bermain bagi Sang Jiwa agar dapat mengalami bagaimana rasa jadi ciptaan Nya? Bagaikan seorang pencipta mobil mesti atau ingin merasakan mobil ciptaannya.

Namun istilah jijik tetap harus kita gunakan saat masih hidup di dunia. Tujuanya? Agar kita selalu ingat bahwa yang dimaksud dengan ‘aku’ adalah jiwa. Tanpa selalu ingat akan ini, kita akan lupa bahwa diri sejati sesungguhny adalah ‘JIWA’. Dengan berupaya mengingat ini terus, kita sadar bahwa sesungguhnya jiwa suci dan murni tidak terpengaruh akan pasang surut emosi tubuh serta pikiran.

So, Diri yang dimaksudkan adalah ‘diri’ sebagai percikan Sang Jiwa Agung. Saat kita sadar bahwa ‘diri’ adalah bagian atau percikan dari Sang Jiwa Agung, kita mampu memberdayakan diri. Saat itu, kita semestinya berada dalam laku kebenaran. Karena, ‘DIRI’ yang ini selalu berada dalam kemuliaan. Laku kebenaran berarti laku dalam kemuliaan. Sering sekali laku ini tidak selaras atau sejalan dengan kebenaran yang diyakini orang pada umumnya. Hal ini terjadi jika kebenaran yang diyakini umum masih pada lapisan luar atau identifikasi tubuh.

Ketika seseorang bisa meyakini bahwa jati dirinya adalah Jiwa, maka dalam kehidupan sehari-hari pun senantiasa dilandasi perilaku yang mulia. Tentu mulia bagi sang jiwa, bukan berlandaskan kenyamanan indrawi.

Dengan demikian,ungkapan memberdayakan diri berada pada tingkat yang tepat, memberdayan diri dengan tindakan kebenaran serta kejujuran. Segala laku di tujukan semata untuk membebaskan diri dari keterikatan duniawi, bukan bagi kenyamanan tubuh atau indrawi.

Saat kita memahami dan melakoni bahwa ‘diri’ adalah sang jiwa, saat itu tiada keraguan dalam menempuh kehidupan… Itulah tujuan kelahiran manusia, menyadari dir sebagai sang jiwa. Sebagai saksi…