Persepsi Tepat
Persepsi tepat adalah cara pandang yang mement dibutuhkan pada sepanjang waktu. Cara pandang ini bersifat universal, dalam arti memang dibutuhkan bagi khalayak umum. Yang dimaksudkan dengan umum berarti bukan hanya untuk makhluk hidup tetapi juga lingkungan. Sesungguhnya tidak ada yang mati, semua benda yang dianggap mati atau tidak bergerak pun sesungguhnya sedang mengalami berproses perubahan. Misalnya batu sedana bengalami proses menjadi pasir. Pohon yang dikatakan mati pun dalam proses penguraian atau pembusukan kemudian meresap ke dalam tanah.
Bila kita mau mencermati para suci, avatar atau pun para bijak, mereka senantiasa memiliki persepsi tepat, karena mereka amat sangat memahami satu kesatuan kehidupan holistik atau utuh. Mereka tidak bisa memiliki persepsi yang kotak dan mengkotakkan. Suatu cara pandang yang luas tersebut hanya dimiliki oleh mereka yang pernah mengalami persatuan dan kesatuan dengan yang Maha Tunggal.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Warisan Luhur
Doa para suci, avatar dan bijak selalu sama: Berikanlah semua orang persespi atau cara pandang yang mulia; Sarve Bhadrani Pashyantuh. Doa para suci tidak hanya untuk diri dan golongan tertentu, tetapi bagi semua makhluk. Inilah Warisan leluhur Nusantara. Bukan doa yang minta untuk mendapatkan harta benda dunia, tetapi doa bagi semua agar: Bahagia, sehat, persepsi tepat (baik), dan tidak menderita.
Ya, hanya dengan memiliki cara pandang tepat alam ini terselamatkan dari kehancuran akibat keserakahan manusia. Dengan kata lain, setiap orang harus menanamkan dalam diri sendiri suatu perubahan. Kita tidak bisa mengubah dunia, tetapi bila setiap manusia mau berubah, maka dunia damai dan indah yang diidamkan setiap orang pun akan terwujud.
Terjadinya kejahatan
Suasana kekacauan dan keributan terjadi karena persepsi yang tidak tepat:
Mengapa dan bagaimana seorang anak manusia menjadi durjana?
Kemanusiaan.’ Padahal, si durjana menganggap dirinya sebagai pembela kemanusiaan, pembela kepercayaan atau apa pun sebutannya, bahkan pembela Tuhan atau apa pun sebutan-Nya. Karena ia terpengaruh oleh apa yang dianggapnya sebagai kejahatan yang terjadi di luar.
Ia terpengaruh oleh anggapannya sendiri, oleh emosi yang muncul dari anggapan itu. Padahal yang terjadi di luar belum tentu suatu kejahatan. Orang yang dianggapnya jahat pun belum tentu jahat. (Fear Management & The Art of Being Happy by Anand Krishna)