Apa bedanya? Tidak ada bedanya. Ke duanya tidak bisa berkembang dengan baik. Mereka yang tidak bisa beranjak dari agama, tidak bisa melampaui agama tidak akan berkembang pemahamannya. Agama bagaikan pot. Diri kita bagaikan tanaman. Pikiran kita di bonsai jika masih terus di ranah alam ini. Walaupun tampak indah tetapi tidak bisa besar dan bermanfaat bagi manusia bagaikan tumbuhan yang hidup di alam bebas.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Mari kita perhatikan tanaman dalam pot. Ia boleh saja tumbuh subur, tetapi akan tetap terpenjara dirinya. Pandsangan ini terinspirasi oleh tanaman yang ada dalam pot. Ada dua tanaman yang sejenis. Ke duanya ditanam dalam pot yang sama. Satu tanaman kondisinya lebih subur dan besar. Setelah dilihat, ternyata akar tanaman bisa menembus pot yang terbuat dari tanah liat. Akar tersebut menembus sumbernya, tanah yang memiliki nutrisi yang tidak terbatas.

Sementara, tanaman yang di pot lainnya dalam keadaan biasa. Setelah dilihat, akarnya belum mampu menembus pot. Tanaman yang tidak mampu menembus tanah sebagai sumber nutrisi tidak dapat tumbuh dengan subur dan kuat. Ia tidak mampu melampaui  keterbatasan dirinya. Ia terkungkung dalam keterbatasannya.

Fenomena yang lain terjadi pada burung atau hewan lainnya. Saat hewan berada dalam habitatnya, ia memiliki kemampuan self healing yang jauh lebih besar daripada yang di kurung. Ketika berada di habitatnya, ia bisa berhubungan dengan temannya. Kelompoknya memberikan energy support yang luar biasa. Kebebasannya membuka hubungan dirinya denga semesta, inilah kekuatan sumber alam semesta.

Suka tidak suka, mau tidak mau; jika mau berkembang selaras dengan semesta, manusia mesti mampu membebaskan dirinya dari kurungan atau pot agama. Kita lupa bahwa para suci dan nabi juga tidak beragama. Para suci dan nabi menyampaikan berita agar manusia bangkit untuk bertanggung jawab atas segala perbuatannya serta hidup dengan sesama dengan damai.

Para suci dan nabi yang memahami sifat semesta menyampaikan hal yang satu dan sama: Jangan lakukan perbuatan yang orang lain tidak suka perbuat terhadap dirimu. Atau: ‘Jika tidak mau dicubit, janganlah mencubit’. Para suci dan nabi tidak sedikitpun akan setuju jika ajarannya dilembagakan sebagaiman agama yang kita kenal saat ini. Mengapa?

Ketika ajaran para suci dan nabi dilembagakan dalam bentuk agama yang kita kenal saat ini bisa digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan di bumi tidak akan membebaskan jiwa manusia. Yang terjadi justru sebaliknya, jiwanya terkungukung dalam mindset kekerdilan. Bagaikan tanaman yang akarnya tidak menyentuh bumi. Pikiran yang terkungkung oleh pot agama tidak mungkin berkembang. Karena agama yang kita kenal sekarang tidak lagi selaras dengan esensi pesan para suci dan nabi.

Esensi pesan para suci dan nabi adalah untuk membebaskan jiwa manusia darimindset keterikatan dunia. Selama agama masih berpijak dengan pemahaman sempit paling baik atau lebih baik dari yang lainnya selama itu pula tidak akan membebaskan sang jiwa.

Isa sang Masiha atau nabi Isa rela disalib sebagai contoh bahwa setiap insan mesti bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Setiap orang memikul salib perbuatannya sendiri. Yang dilakukan oleh nabi Isa sebagai contoh terhadap murid dan sahabatnya.

Baginda Rasulullah SAW pun senantiasa menyampaikan bahwa setiap perbuatan mesti berakibat bagi yang melaukannya. Hukum sebab-akibat tetap berlaku.

Bebaskan diri dan lampaui agama untuk hidup dalam keberagamaan. Lakoni dan tumbuhkembangkan kemanusiaan dalam diri kita. Tanpa mengembangkan kemanusiaan dalam diri kita, kita tidak akan bisa berhubungan dengan Sang Sumber nutrisi. Bagaikan tanaman yang ada dalam pot. Tidak bisa tumbuh dengan bebas dan subur…

Jadilkanah pola pikir kita bagaikan tanaman yang tumbuh subur di bumi sehingga bermanfaat bagi semua makhluk di bumi….