Hipotesa ke dua adalah bahwa si roh sadar bahwa pemicu dari semua penderitaan adalah kenikmatan indrawi. Misalnya, seseorang lahir dalam keadaan buta. Si roh sadar bahwa selama kehidupan indra penglihatan telah membawa dirinya lupa akan tujuan kelahiran. Maka jelang kematian, ia memutuskan untuk tidak menggunakan matanya lagi. Ia memilih sendiri untuk tidak memiliki mata pada kelahiran berikutnya. Pilihan sendiri atas dasar kesadaran.
Kita harus memahami proses penderitaan. Semua pemicu kerja pikiran berawal dari panca indra. Saat kita melihat sesuatu, kita menggunakan mata. Misalnya, kita melihat seorang wanita cantik. Pikiran akan berkata: ‘Wanita itu cantik.’ Jika sampai disitu dan tidak berlanjut, tidak masalah. Penyakitnya adalah pertanyaan berikutnya akan muncul: Apakah dia masih sendiri. Dimana rumahnya. Berapa nomor teleponnya, dan lain sebagainya. Kumpulan pikiran atau thought inilah yang disebut gugusan pikiran atau mind.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Kumpulan pikiran ini dilanjutkan dengan tindakan atau aksi. Maka terjadilah pengalaman kehidupan dengan seribu cerita. Akhirnya, ia menderita akibat indra penglihatan. Dan hal ini sangat mungkin terjadi pada kita semua. Si roh yang sadar bahwa akibat indra penglihatan, ia mengalami penderitaan karena pada akhirnya lupa tujuan, kemudian ia memilih untuk tidak menggunakan indra penglihatan saat kelahiran berikutnya.
Saat tubuh dan otak telah tidak beraktivitas lagi alias mati, gugusan pikiran sebagai memori, perasaan serta emosi yang menjadi satu atau roh atau tubuh halus dengan identitas sama, hanya bisa sebagai saksi. Ia tidak lagi memiliki kemampuan memilih. Ia bergerak atas tuntunan emosi rekaman masa lalu.
Ia bertindak atas ingatan atau memori masa lalu saat hidup. Yang paling parah bila ia terjebak pikiran tidak sadar bahwa tubuh dan otaknya telah mati. Inilah yang disebut ‘hantu’. Ia masih ‘merasa’ bisa berhubungan dengan yang masih hidup di dunia.
Yang beruntung adalah roh yang sadar. Sadar bahwa akibat indra penglihatan, ia melakukan penyimpangan dari tujuan kelahiran di bumi. Ia tidak menggunakan indra penglihatannya untuk menunjang perkembangan evolusi kesadaran. Bila hal ini terjadi, ia akan memilih untuk lahir dalam keadaan buta. Pilihan bisa terjadi karena berkah Sang Jiwa Agung. Bukan karena upaya sendiri.
Indra penglihatan dahulu, kemudian pikiran mengolah. Pikiran demi pikiran menjadi gugusan pikiran. Gejala berikutnya, nafas tidak beraturan. So, jika mau kendalikan panca indra, nafas dahulu dikendalikan. Tidak pelak lagi, semua terkendali dan aman.
Mohon maaf jika tulisan ini kurang berkenan, mungkin bukan untuk anda?
Ini sekedar hipotesa yang sulit dibuktikan.
Namun, jika kita meyakini hukum sebab akibat, bukankah saat ini sebagai pencipta akibat yang akan datang?
Pilihan di tangan kita, ingin akibat baik? Kita ciptakan sebab yang baik saat ini.
Kita penentu masa depan kita sendiri….