Selama ini tampaknya kita hanya sebatas mengetahui dan menghapalkan ayat. Tetapi sama sekali belum meng’hidupi’ atau menghayati ayat. Inilah sebabnya kita belum mendapatkan kedamaian dalam diri. Ayat yang disampaikan oleh para suci atau avatar dalam buku atau kitab yang diwariskan bukan hanya untuk dihapalkan. Jika hanya untuk dihapalkan, pada akhirnya kita seperti tape recorder. Merekam dan memutar ulang tanpa melakoni ayat tersebut.

Seorang avatar seperti nabi Isa bisa tidak konsisten, ia seorang yang in konsisten. Inilah sebabnya para utusan selalu ditolak. Bahkan dianiaya. Mereka tidak bisa konsisten sebagaimana pemahaman masyarakat di era modern. Para suci hidup dalam kekinian. Suatu perbuatan satu dan sama tidak bisa dilakun dalam waktu yang beda. Mereka memahami bahwa tiada yang benar atau salah. Yang ada, tepat atau tidak tepat.

Buku Meditasi dan Yoga Terbaik

  • Dapatkan Buku Meditasi Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Terbaik Untuk Pemula [Beli Buku]
  • Dapatkan Buku Yoga Sutra Patanjali [Beli Buku]

Satu tindakan tepat pada situasi satu, tetapi bisa tidak tepat pada situasi berbeda. Nabi Isa misalnya, ketika melihat bait Allah digunakan untuk perdagangan, ia sangat marah. Semuanya dijungkir balikkan. Semuanya di obrak- abrik. Namun di lain waktu, beliau mengajarkan kasih dan sayang.

Bila seseorang masih belum bisa menghidupi ayat berarti ia masih berada pada lapisan kulit. Lapisan tampak luar termasuk tindakannya. Dengan demikian mereka juga pas pada frekuensi yang sama. Lapisan luar. Mereka belum bisa melihat outcome. Mereka terjebak di jalan sehingga belum bisa melihat esensi tindakan. Dan pada umumnya mereka yang memiliki ketertarikan yang sama akan saling tertarik satu dengan lainnya. Mereka pada frekuensi yang sejenis.

Ketika seorang terjebak pada tampilan luar, ia belum kenal jati diri. Ia akan terjebak dalam penderitaan. Karena ia masih dalam lapisan emosi, suka dan tidak suka. Ia hanya melihat yang dilakukan, namun tidak melihat situasi yang dihadapi. Suatu tindakan dengan situasi masyarakat yang berbeda tentu berbeda. Tindakan yang tepat disesuaikan dengan kondisi setempat. Bila masyarakat yang dihadapi hanya memahami bahasa kasar, maka sikap seseorang dengan perilaku halus tidak akan sesuai.

Seseorang yang masih pada senang pada tampilan luar berada pada ranah intelektual. Otak berkaitan dengan reptilia, instinct hewani. Bukankah sifat hewanpun demikian? Belum berpikir jauh melampaui/beyond yang tampak. Jika hewan terbatas pada indra penciuman, manusia pada penglihatan. Masih pada lapisan indrawi. Ke duanya masih menggunakan jenis otak yang sama. Batang otak limbik yang berkaitan dengan emosi.

Hanya mencari kenikmatan memperturutkan instinct hewani masih pada otak reptilia. Padahal manusia telah dibekali otak neocortex yang memiliki kemampuan menimbang lebih dengan tepat. Jenis otak ini digunakan untuk mengembangkan intelejensia. Sayang sekali bila dalam kehidupan saat ini, kita tidak mengembangkan….

Hanya seorang yang intelejensianya berkembang mampu melakukan tindakan tepat. Bukan tindakan benar menurut penilaian masyarakat banyak. Karena masyarakat banyak masih berpatokan pada nilai moral. Suatu nilai yang di-amini orang banyak, tetapi belum bisa dikatakan tepat. Sedangkan nilai spiritual dilandasi tindakan yang tepat. Tepat berarti selaras dengan alam; yang berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Bukan berdasarkan kepentingan golongan atau kelompok.

Mereka yang telah meng-‘hidupi’ atau menghayati ayat adalah mereka yang menghidupkan keyakinan atau kepercayaannya dalam kehidupan keseharian. Mereka tidak terjebak dalam ritual atau sembahyang yang mati. namun benar-benar sembah Hyang. Memuja hyang berarti mengasihi serta menyayangi sesama makhluk hidup.