Ahimsa berarti tidak berbuat kekerasan. Lantas, apa keterkaitannya dengan tidak bercerai???
Ahimsa berarti tidak berbuat kekerasan. Tidak berbuat kekerasan berarti tidak melukai. Bukan saja melukai orang lain, hewan atau tumbuhan, namun juga terhadap diri sendiri. Kadang kita tidak sadar saat kita mengucapkan kata-kata yang menghujat orang lain sesungguhnya kita berbuat kekerasan. Baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
Buku Meditasi dan Yoga Terbaik
Orang lain jelas akan sakit hati, namun sebelum orang lain terluka, sadarkah kita bahwa kita juga sedang melukai diri sendiri? Hal ini yang sering kali terlupakan. Tampaknya kita puas menghujat orang lain. Memaki orang lain dengan kata kasar dan menyakitkan hati saudara atau teman kita. Jika kita ingat bagaimana kemampuan air merekam ata atau pikiran, maka sadarilah bahwa tubuh kita terdiri dari air 70% an. Otak kita 90% cairan.
Ini hasil penelitian Masaru Emoto sebagai bukti pengaruh kata pada tubuh kita:
So, tubuh dan otak kita menderita terlebih dahulu saat kita berpikir, berucap dan berbuat kasar. Akibatnya bisa diduga, tubuh akan sakit.
Seseorang yang mampu berlaku tidak berbuat kekerasan atau ahimsa adalah orang yang memiliki keberanian. Selama ini kita berpikir bahwa orang berani adalah yang berteriak dan bisa memukuli orang. Sadarkah kita bahwa mereka sesungguhnya para penakut? Mereka takut karena sesuatu. Seseorang yang berani melawan hukum bukanlah seseorang pemberani. Ia takut patuh pada hukum. Orang yang membawa pentungan, katanya membela agama atau Tuhan, sesungguhnya adalah penakut. Takut kehilangan pengikut atau massa. Takut pada pilihan keyakinannya. Orang yang melakukan razia pada warung yang buka saat bulan puasa sesungguhnya takut tidak bisa menahan lapar, atau takut ia tergoda. Ketakutan ini tampaknya dianggap keberanian.
Seorang pelaku ahimsa atau tidak berbuat kekerasan adalah seorang yang bisa melawawan tetapi ia memilih diam demi kepentingan orang banyak atau orang lain. Inilah sebabnya saya ambil contoh perceraian.
Dalam suatu rumah tangga yang memiliki anak, bila terjadi ketidaksesuaian antara suami dan istri sebaiknya tidak bercerai. Mereka harus berpikir lebih jauh lagi bahwa perceraian tidak akan menyelesaikan masalah. Bahkan tampaknya akan menambah masalah. Saat perceraian terjadi, tampaknya masalah selesai. Tetapi, bagaimana dengan anak? Si anak akan mengalami suatu trauma yang cukup dalam.
Jika ada keinginan menikah lagi, yang dianggap sesuai dengan dirinya. Percayalah, itu hanya sesaat. Banyak masalah akan timbul setelah menikah dengan yang baru. Semuanya hanyalah ilusi.
Ke dua orang tua bisa bercerai, tetapi saat mereka berani memilih tidak melakukan demi kebahagiaan anak mereka di masa akan datang, berarti ia tidak berbuat kekerasan terhadap perasaan si anak. Inilah ahimsa. Mereka secara hukum dan kemampuan bisa bercerai, tetapi rasa kasih yang membuat mereka membatalkan perceraian. Mereka berdua berani menundukkan kepentingan diri demi orang lain, anak. Mereka belajar bagaimana mengalahkan ego.
Segala permasalahan bisa diselesaikan ketika kita mampu mengatasi ego. Segala persoalan yang kita hadapi sesungguhnya adalah ciptaan kita sendiri. Bukan kah kita GOD?
G adalah kepanjangan dari GENERATOR atau pencipta masalah
O adalah kepanjangan dari OPERATOR atau pemelihara/pengatur
D bermakna DESTRUCTOR atau pemusnah masalah.
Jika tidak percaya, silakan amati setiap masalah yang kita hadapi. Dapat dipastikan sumber masalah ada dalam diri kita masing-masing. Ego atau kepentingan DIRI palsu adalah sumber masalah….
Atasi EGO dengan rasa kasih, maka ego pun punah……..
Atasi EGO demi melayani orang lain, anak. maka anda pun bahagia…..
Masalah selesai……